Latest Movie :
Recent Movies

Analisis Jual Beli Saham Dalam Perspektif Hukum Syariah

Saham adalah sebuah instrumen investasi yang diperjualbelikan di pasar modal dalam perkembangan dunia ekonomi kontemporer. Dalam perkembangannya, saham sebagai salah satu instrumen investasi yang kompetitif dan memberikan kemudahan akses modal kepada para emiten yang ingin memperluas usahanya dan juga menawarkan keuntungan yang sangat signifikan kepada stakeholders yang berkecimpung di dalamnya.
Sebagai bentuk aktivitas muamalah manusia di muka bumi, jual beli saham tidak bisa lepas dari setiap ketentuan hukum islam (syariah) yang telah digariskan oleh Allah kepada manusia. Karena Agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang memuat nilai-nilai universal dan aturan yang komphrehensif.
Saham dalam istilah ekonomi diartikan sebagai tanda penyertaan modal atau kepemilikan seseorang (badan hukum) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Saham adalah sebuah intrumen keuangan yang dijualbelikan di bursa saham (pasar modal) dengan seperangkat regulasi yang ditetapkan pemerintah melalui Bapepam sebagai badan yang ditunjuk Menteri Keuangan. Adapun pasar modal adalah pasar untuk memperjualbelikan instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang, saham (ekuitas/ efek) instrumen derivatif, maupun instrumen lainnya. Adapun perusahaan yang melakukan penawaran saham disebut sebagai emiten.
Keinginan emiten dalam melakukan penawaran saham kepada publik akan sangat erat dilatarbelakangi oleh tujuan suatu perusahaan dalam menambah kapasitas dan ekspansi perusahaan. Oleh karena itu pula sebuah emiten akan berhitung tentang saham apa yang akan mereka tawarkan kepada publik. Di antaranya ialah saham biasa (common stock) dan saham turunan (prefered stock). Saham biasa (common stock) adalah saham yang menempatkan pemiliknya pada posisi paling junior dalam pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi. Sedangkan saham preferen adalah saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obilgasi) tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil yang dikehendaki investor.
Namun konsekuensi dari itu semua, sebuah perusahaan yang telah go public harus merelakan sebagian porsi manajemen kepada para pemegang saham, membagi hasil keuntungan berupa dividen di tiap akhir periode, melaporkan kegiatan dan laporan keuangan kepada publik, serta bersedia untuk dilakukan audit eksternal oleh auditor publik (independen). Sedangkan keuntungan perusahaan yang telah go public adalah mendapat suntikan modal di luar pembiayaan kewajiban untuk memperkuat struktur modal dan memperbesar kapasitas usahanya.
Dalam perkembangan dunia investasi keuangan, seperti halnya dalam dunia perbankan, saham juga mengalami perkembangan dan akulturasi implementasi nilai muamalah spiritual di dalamnya. Hal itu ditandai dengan hadirnya saham syariah di Indonesia dengan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli tahun 2000 sebagai maskotnya. Jakarta Islamic Index sendiri adalah index yang dikeluarkan oleh BEJ (sekarang BEI) sebagai subset dari Indexs Harga Saham Gabungan (IHSG).
Tujuan dibentuknya Jakarta Islamic Index adalah sebagai tolok ukur standar bagi saham berprinsip syariah di pasar modal dan sebagai sarana untuk meningkatkan investasi di pasar modal sesuai prinsip syariah. Kondisi tersebut sebelumnya sudah ditunjang oleh Reksadana Syariah yang telah berdiri terlebih dahulu pada tanggal 3 juli 1997, dan kemudian Pasar Modal berprinsip Syariah yang diterbitkan secara resmi pada tanggal 14 Maret 2003 oleh Menteri Keuangan pada saat itu Boediono.
Dengan adanya label syariah di belakang nama saham dan juga pasar modal syariah tentu terdapat sebuah perbedaan antara instrumen keuangan yang berbasis syariah dengan konvensional. Namun perbedaan prinsip yang diterapkan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional beserta instrumen keuangannya, bukan berarti bahwa pasar modal berprinsip syariah mempunyai lantai bursa dan lembaga struktural sendiri. Di Indonesia pasar modal berprinsip syariah berdiri sejajar bersama dengan pasar modal konvensional di bawah naungan Bapepam.
Namun dalam pelaksanaanya Bapepam sendiri tidak akan membuat apa itu syariahnya, Bapepam hanya akan membuat guide line saja, karena sudah ada Dewan Syariah Nasional yang mengurusi hal itu. Bersamaan diterbitkannya pasar modal syariah, Bapepam mengeluarkan 5 regulasi baru yang akan mengatur perjalanan pasar modal syariah dan membedakannya dengan pasar modal konvensional.
Namun dari kelima itu semua, hal yang Harus diperhatikan oleh Emiten dan Investor adalah semua Efek syariah, termasuk saham syariah yang diperjualbelikan dan Usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas utama (Core Business) yang halal dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah islam; (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang. (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusikan, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram, (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, atau menyediakan barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat. Selebihnya, regulasi pasar modal syariah tidak banyak berbeda dengan regulasi yang diterapkan oleh Bapepam terhadap pasar modal konvensional.
Namun dari semua itu, dalam dunia fiqih kontemporer masih terdapat khilafiyah yang cukup serius di antara para ulama’ mengenai jual beli saham. Pertama, bahwa ulama’ sepakat bahwa jual beli saham di pasar modal adalah jelas haram, jika saham emiten yang diperjualbelikan adalam saham emiten yang bergerak di bidang usaha yang haram. Kedua, jika saham yang diperjualbelikan adalah saham emiten yang bergerak di bidang usaha yang halal para ulama’ berbeda pendapat mengenai hal itu. “Menurut Syahatah dan Fayyadh, “Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar‘i. Namun Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali as-Salus sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak islami. Jadi, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan islami (syirkah islâmiyah) atau tidak.”
Namun demikian, meski beberapa ulama’ menyatakan pendapatnya, tentu taqlid bukan suatu pilihan yang tepat, oleh karena itu wajib hukumnya berijtihad untuk mendekati hukum jual beli saham yang lebih tepat. Aspek mendasar yang harus dicermati yakni secara umum semua aktivitas jual beli pada dasarnya hukumnya halal sesuai dalil-dalil yang menunjukkan halalnya jual beli, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 275. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa jual beli telah dihalalkan oleh Allah SWT. Meski begitu, apakah aktivitas jual beli saham dengan segala mekanisme yang diterapkan oleh Bapepam sudah sesuai dengan kaidah dan aturan syariat. Merujuk kembali kepada konsep dasar muamalah bahwa setiap aktivitas muamalah manusia adalah mubah (boleh) sebelum didapat dalil yang berkata berbeda (al-ashlu fil muamalah al ibahah illa ma dalla ad-dalilu ‘ala khilafihi), maka jual beli saham perlu dihadapkan kepada dalil-dalil lain yang menerangkan secara umum muamalah manusia yang mungkin akan berkaitan tentang jual beli baik dari segi rukun dan syarat jual beli.
Aspek pertama ialah substansi saham sebagai barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih), yakni saham adalah tanda penyertaan modal atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Dalam definisi tersebut dapat dipahami bahwa saham merupakan tanda/ surat (berupa secarik kertas) penyertaan kepemilikan atau modal seseorang atas suatu badan usaha. Namun dalam pengertian lain saham didefinisikan sebagai satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Dari pengertian kedua dapat dipahami bahwa saham adalah sebuah instrumen keuangan dari sebuah perusahaan yang menjadi satuan nilai kepemilikan seseorang atas suatu perusahaan. Oleh karena itu jika ditarik suatu benang merah di antara kedua definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa saham adalah bukti kepemilikan berupa penyertaan modal sesorang atas suatu perusahaan (badan usaha).
Dengan demikian, layaklah aktivitas jual beli saham dapat diqiyaskan sebagai akad pemindahan (mu’awwadlah) kepemilikan atas modal suatu perusahaan sebagaimana yang terjadi di pasar perdana bursa efek. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa tujuan utama dari suatu perusahaan yang ingin menjual beberapa sahamnya di lantai bursa ialah untuk memperoleh dana besar untuk memperkuat struktur modal, ekspansi atau perluasan usaha, meningkatkan investasi di anak perusahaan, melunasi sebagian utang dan menambah modal kerja. Maka dari penjelasan tersebut, jual beli saham dapat diartikan sebagai akad muawwadlah atas modal antara perusahaan (emiten) dan investor. Jika demikian, bagaimana hukumnya jika jual beli saham dipersamakan sebagai jual beli modal? maka hukumnya ialah boleh, karena modal bersifat stock consep tidak seperti uang yang bersifat flow consep dan tidak bisa dijadikan sebagai komoditas perdagangan.
Namun jika saham diartikan sebagai sebuah bentuk instrumen syirkah dalam suatu bisnis, apakah hukumnya halal juga? Meski syirkah adalah suatu muamalah yang dihalalkan dalam islam, apakah syirkah bisa dipindahtangankan melalui jual beli surat kepemilikan. Dalam buku Investasi pada pasar modal syariah diungkapkan bahwa secara praktis instrumen saham belum diperjualbelikan pada masa Rasulullah karena yang dikenal hanyalah jual beli komoditas secara riil. Pada masa itu belum dipresentasikan saham sebagai instrumen pengakuan perusahaan dalam bentuk syirkah. Dengan demikian bukti kepemilikan atau jual beli aset hanya melalui jual beli biasa dengan mekanisme pasar riil. Oleh karena tidak ada nash yang menyebut secara jelas hukum saham dan akad pemindahan kepemilikannya, maka beberapa ulama’ mengutarakan pendapatnya meski terjadi khilafiyah di antara mereka. Di antara pendapat yang paling kuat di antara mereka ialah pendapat yang memperbolehkan jual beli saham sesuai dengan terminologi yang melekat padanya, yakni sebuah saham yang dimiliki adalah menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham menjadi cerminan kepemilikan atas aset tertentu.
Aspek kedua tentang regulasi Bapepam mengenai mekanisme jual beli saham di pasar modal apakah sudah bisa mengakomodir ketentuan syariah tentang rukun dan syarat jual beli. Kondisi yang paling disoroti oleh para cendekiawan muslim ialah transaksi jual beli yang tidak dilakukan secara kontan (spot) dan bisa dipindahtangankan sebelum terjadi serah terima saham dalam pasar sekunder bursa efek.
Hal ini menimbulkan interpretasi hukum oleh beberapa ulama’, perlu diketahui bahwa dalam pasar modal, transaksi berjangka diberlakukan sesuai tingkat keperluan dan transaksi jual beli. Artinya transaksi yang dilakukan di dalam pasar modal syariah tidak dilakukan secara kontan dan riil sebagaimana transaksu jual beli biasa yang ditemui sehari. Namun dari pada itu, transaksi dalam bursa bukanlah jual beli as-Salm yang dibolehkan dalam syari'at Islam, karena keduanya berbeda dalam dua hal:
1) Dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi. Namun ditangguhkan pembayarannya sampai penutupan pasar bursa. Sementara dalam jual beli as-Salm harga barang harus dibayar terlebih dahulu dalam transaksi dan diserahterimakan sesuai kaidah jual beli.
2) Dalam pasar bursa barang transaksi dijual beberapa kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan, secara spekulatif melihat untung ruginya. Persis seperti perjudian. Padahal dalam jual beli as-Salm tidak boleh menjual barang sebelum diterima.
Maka dalam kondisi seperti itu, tentu saja syarat luzum dalam jual beli tidak terpenuhi. Selain itu, meski terdapat aqidain yang jelas dalam jual beli saham baik syariah maupun konvensional dalam pasar modal, namun masih terdapat sebuah kondisi yang tidak bisa menjelaskan terjadinya ijab dan qabul antara pihak penjual dan pembeli saham. Hal ini yang kemudian disoroti oleh Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali as-Salus seperti dalam beberapa paragraf di atas. Karena ijab dan Qabul adalah rukun dalam jual beli yang tidak bisa ditinggalkan. Setidaknmya itulah pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama’ yang condong ke pedapat imam syafi’i yang mewajibkan terjadinya ijab dan qabul dalam bentuk sighat dan majlis yang jelas.
Namun bagi para ulama’ dari golongan namun menurut Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dalam pendapat yang rajih (kuat) bahwa jual beli adalah sah apabila sudah menjadi adat kebiasaan (‘urf) yang menunjukkan kepada kerelaan dan perbuatan yang menggambarkan kesempurnaan kehendak dan keinginan masing-masing pihak seperti dalam kitab jual beli al-mu’athah, dan itu telah tergambar dalam jual beli saham yang telah dimaklumi oleh para stakholder.
Aspek ketiga, meski Dewan Syariah Nasional MUI yang mengeluarkan fatwa tentang Saham syariah masih ada beberapa hal yang patut dipertanyakan karena menurut penulis mampu menghilangkan konsep syariah dalam jual beli saham syariah itu sendiri, antara lain: Pertama, meski fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003 yang mengatur tentang larangan tindakan spekulatif dan jual beli saham sesuai prinsip syariah dalam pasar modal, namun kenyataan di lapangan ketentuan tersebut tidak bisa mengikat para stakeholder secara mutlak. Tentu saja, tindakan spekulatif para investor tidak akan bedanya dengan jual beli uang dan juga judi. Jika demikian tentu saja hukumnya haram jika dalam suatu proses jual beli dicampuri tindakan spekulatif dan begitu pula sebaliknya.
Nash Allah dalam al-quran surat al-maidah ayat 90.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S al-Maidah ayat 90)
Sebagai contoh dalam lalu lintas perdagangan saham, pertama kali yang dilakukan oleh investor adalah membeli saham dan kemudian menjualnya dengan jual kosong (short selling). Dalam aktivitas ini yang terjadi adalah kebalikannya. Cara ini memungkinkan investor mendapatkan keuntungan dari penurunan harga saham. Pertama, saham dijual kemudian dibeli kembali dengan cara investor meminjam suatu saham dari broker dan menjualnya. Selanjutnya, short-seller harus membeli saham yang sama untuk menggantikan saham yang telah dipinjam. Kegiatan ini disebut mengganti posisi kosong (covering short positiion). Kondisi ini akan bertahan terus menerus dalam jual beli saham secara masif dan spekulatif sebelum investor mendapatkan untung yang diharapkan terutama di pasar sekunder dan sebelum pasar ditutup.
Kedua, meski terdapat suatu ketentuan tentang usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas bisnis utama (Core Business) yang halal dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001 yang telah disebutkan di atas. Namun terdapat dua ketentuan yang cukup kontroversial, pertama rasio hutang ribawi emiten dibandingkan dengan total ekuitas (Debt Equity Rasio) emitem syariah tidak lebih dari 82%. Artinya jika terdapat hutang ribawi emiten yang tidak melebihi angka 82% dari todal ekuitas perusahaan diperbolehkan oleh Bapepam dan DSN-MUI untuk masuk list saham syariah.
Kemudian peraturan selanjutnya, kontribusi pendapatan bunga dan pendapatan non halal lainnya dibandingkan dengan total seluruh pendapatan tidak lebih dari 10%. Maka dari ketentuan rasio utang terhadap ekuitas (DER) dan pendapatan non halal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan apakah jual beli saham perusahaan yang mempunyai hutang ribawi pendapatan non halal tersebut bisa dikatakan syariah? Tentu jawabnya belum, karena jika merujuk kepada setiap barang yang diperjualbelikan harus halal secara dhohir maka kondisi tersebut berbanding terbalik. Seharusnya kondisi Syarat Rasio utang Ribawi dan pendapatan non halal adalah 0%, karena dalil-dalil yang menyatakan tentang haramnya riba dan larangan menerima pendapatan ribawi dan non halal sudah jelas.
Sebagaimana firman Allah SWT. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Ali Imron 130)
Dengan kondisi syarat rasio tersebut maka jual beli saham emiten yang demikian hukumnya sama halnya dengan jual beli barang bathil dan hukumnya haram. Namun langkah yang ditempuh oleh semua pihak termasuk Majelis Ulama’ Indonesia yang telah menerbitkan segala aturan mengenai prinsip-prinsip syariah dalam jual beli saham dan Bapepam sendiri yang telah mengakomodir ketentuan MUI tersebut merupakan sebuah langkah gemilang yang tetap harus didukung dan diberikan kritik yang membangun, setidaknya jual beli saham syariah yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.
Mengenai ketentuan MUI tentang rasio hutang ribawi dan pendapatan non halal tersebut pasti mempunyai latar belakang dan dalil yang sangat kuat. Menurut analisa penulis, jika kedua aspek tersebut disyaratkan harus murni syariah maka apakah akan ada saham syariah di Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Industri keuangan dan bisnis saat ini hanya PT. Bank Muamalat, Tbk. yang menjadikan hukum syariah sebagai anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Jika demikian langkah tersebut juga kurang tepat baik dalam sisi hukum syariah dan aspek bisnis. Sebagaimana yang telah terjadi saat masa pertama kali turun syariah Islam kepada Nabi Muhammad, Allah SWT menurunkan hukum syariah secara berangsur-angsur. Demikian pula dalam industri keuangan syariah saat ini, dakwah yang dilakukan oleh semua civitas keuangan syariah juga mempertimbangkan aspek tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam aturan MUI tentang rasio keuangan emiten syariah tersebut.
{[['']]}

INDONESIA SEGERA BANGKRUT

Sebagai Negara kaya sumber daya alam, Indonesia mempunyai perairan seluas 93.000 km2 dan panjang pantai sekitar 81.000 km2 dengan kekayaan alam bawah laut yang sungguh luar biasa, 18% dari total terumbu karang (Coral Reef) dunia ada di Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia (20% dari suplai seluruh dunia), sekaligus penghasil timah terbesar kedua dan minyak sawit (CPO) terbesar dunia. Indonesia juga mempunyai kandungan alam berupa minyak, batu bara, emas dan besi yang besar.
Melihat kondisi tersebut, seharusnya Indonesia menjadi Negara maju di dunia. Namun fakta berkata lain. Berdasarkan laporan terakhir Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia tidak mampu menempati posisi 12 Negara eksportir utama (Top Exporters) dunia, Indonesia hanya berada di urutan paling buncit Middle-Leading Exporters. Bahkan untuk urusan sumber daya alam, Indonesia harus kalah dengan singapura. Singapura mampu menempati posisi ke 14 dari 15 Negara Leading Exporters, tentu hal ini sangat mengejutkan. Bahkan Indonesia harus masuk kategori Negara Leading Importers dari produk-produk sumber daya alam, tepatnya di posisi 14.
Tentu ada yang salah dengan Indonesia. Terkait dengan eksploitasi minyak dan gas alam, dari total seluruh ekspolitasi di Indonesia, operator migas nasional hanya memperoleh jatah 25% pengolahan di Negara sendiri, selebihnya dikuasai asing. Dari total 225 blok migas hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional selebihnya oleh asing, sebut saja kepemilikan ExxonMobil di ladang minyak blok Cepu. Di sektor emas, perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoran Copper & Gold Corp mengusai 81,28% produksi emas Papua. Di sektor Batubara, Banpu Public Company Ltd, perusahaan asal Thailand menguasai 73,22% saham yang tersebar di 5 dari 8 daerah tambang di Kalimantan, bahkan Straits Resources Ltd asal Australia menguasai 100% di Kalimantan Selatan. Di Sektor Tembaga, Newmont Mining Corp asal AS menguasai 80% saham. Kemudian di sector Nikel, Vale Canada Limited memiliki saham 58,73% dan Sumitomo Metal Mining Cold Ltd dengan proporsi 20,09%.
Meski pemerintah tengah menyiapkan renegosiasi kontrak yang tidak rasional tersebut dengan pihak asing. Namun hal itu tidak bisa dikatakan cukup, karena pemerintah hanya merencanakan pembagian fivety-fivety dengan mereka.
Di sisi lain, meski Indonesia menjadi Negara penghasil CPO terbesar dunia. Namun Indonesia harus mengimpor olahan matang CPO dari Negara-negara lain. Di sektor pangan, Indonesia harus mengimpor beras dan gula dari Negara-negara tetangga. Padahal lahan pertanian di Indonesia sangat luas dan subur untuk bercocok tanam.
Tentu kondisi ini tidak bisa diremehkan oleh pemerintah. Meski ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6-7% per tahun dan diprediksi menjadi penentu arah perekonomian dunia bersama China, Brasil, India, Korea Selatan, dan Rusia pada tahun 2025 mendatang, tidak menutup kemungkinan bangsa ini akan bangkrut jika pemerintah terus diam.
{[['']]}

EKONOMI ISLAM SUBSTANTIF

Ada sesuatu yang menarik tatkala kita menyimak diskusi dan gumulan pemikiran para ekonom negeri ini. Iman Sugema yang representasi oposan pemerintah dalam hal kebijakan ekonomi yang diambil, tidak jarang menyuarakan pendapat yang sesungguhnya ‘bertemu muka’ dengan prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam. Misalnya, kerap saat otoritas moneter membuat kebijakan menaikkan suku bunga SBI, ia malah mengkritik dan cenderung lebih setuju pemikiran bunga nol persen. Demikian pula tokoh Faisal Basri. Saat berkomentar dan melakukan analisis ekonomi, ia tidak jarang melontarkan pendapat yang sejatinya adalah ruh ekonomi Islam. Umpamanya saat ia mencela pasar uang yang terlalu spekulatif sehingga kemudian menyebabkan kekacauan ekonomi, bahkan krisis. Padahal bunga nol persen dan larangan spekulasi mata uang adalah termasuk ajaran ekonomi Islam yang pertama.

Maka, hipotesis awalnya ialah: peta ‘isme’ ekonomi saat ini sedang berkontraksi antara tesis lama dengan antitesisnya, kemudian menyintesis dan bergerak menuju sebuah tesis baru -meminjam logika dialektika Hegelian. Pertanyaan bijaknya adalah, apakah tesis baru itu? Kemungkinan keduanya adalah bisa jadi terdapat irisan –baik sedikit atau banyak- antara paham/ideologi ekonomi yang satu dengan yang lain. Sebutlah misalnya kapitalisme dengan ekonomi Islam bersepaham dan beririsan sebesar 10 persen dalam hal kebebasan pasar dan tidak bolehnya intervensi yang menyebabkan market failure. Atau ekonomi Islam yang beriris dengan sosialisme dalam segi wajibnya pemerintah mengayom seluruh penduduk, terutama rakyat yang berkekurangan (proletariat) dan perlunya dana sosial untuk memback up kemiskinan. Dari sisi ini, nampaknya perlu penelaahan lebih mendalam.

Yang hendak kita diskusikan di sini adalah tentang dimanakah letak isme-isme ekonomi berada? Apakah ada kemungkinan terjadi irisan satu sama lainnya, dan jika ya, seberapa besarkah irisannya itu? Betulkah 10 persen, atau mungkin jauh lebih besar hingga setengahnya? Hal ini urgen untuk diketahui. Karena penulis berpendapat tidak semua hal dalam ekonomi konvensional (baca: kapitalisme dan sosialisme sebagai dua titik ekstrem) itu salah dan perlu dikoreksi. Ada sisi-sisi baik dari keduanya. Katakanlah kapitalisme berbudi atau sosialisme baik hati. Atau sebut saja kapitalisme plus moral dan sosialisme yang beretika. Tapi, mungkinkah itu? Formalisasi Ekonomi Islam Tulisan ini tidak sedang berbicara bahwa tak apalah anda berekonomi dengan name tag dan istilah apapun, asalkan substansinya adalah Islam. Bukan pula menegasi formalisasi ekonomi Islam seperti apa yang dilakukan oleh kalangan substansialis. Tidak nian. Di sini justru hendak menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, prinsip dan teori-teori ekonomi semakin berunifikasi, menuju ke arah yang sama. Sehingga kini, semakin menjadi teranglah, mana teori yang salah dan terbukti gagal serta mana ‘ekonomi sejati’ itu.

Memang, masalahnya saat ini adalah -merujuk pendapat Adiwarman Karim-‘mobil ekonomi Islam’ yang sudah lurus dan benar arah jalannya itu, tidak kunjung berjalan. Beda hal dengan kapitalisme yang mobilnya jalan terus, meskipun salah jalan dan tak tahu arah tujuan. Meskipun ‘mentok-mentok’ dan ‘nabrak sana-sini’ bahkan sudah ‘penyok’, ia tetaplah berjalan dan berupaya mencari arah yang dituju sehingga ada semacam trial error. Ada langkah coba-coba sebelum mencapai tujuan ‘kesejahteraan’. Maka alangkah baiknya andai saja mobil yang sudah berada ‘on the track’ itu, berupaya sekuat tenaga untuk tancap gas, melewati mobil yang lain dan tiba di tujuan kesejahteraan dengan selamat.

Kapitalisme dapat dikatakan sebagai “ekonomi coba-coba”. Ketika kebebasan menjadi ruh kapitalisme, maka ruang eskperimen terbuka luas. Logika-logika rasional kemudian bersintesis dengan landasan filosofis salah seperti asumsi bahwa pemenuhan keinginan manusia tak harus dibatasi (greedy). Hasilnya, “percobaan” tersebut menghasilkan beberapa sisi positif yang pada hakikatnya sejalan dengan “sunatullah ekonomi” semisal efisiensi dalam pasar yang bebas. Plus sisi-sisi negatif yang berasal dari ketamakan manusia itu sendiri. Sehingga, eksistensi kapitalisme murni bersumber pada intelektualisme pengusungnya dan menjadi rapuh ketika ia beroperasi tanpa batas.

Tesis Muhammad Abduh Ala kulli hal, secara substansi, ekonomi Islam terbukti paling compatible dengan alam. Premis ini semakin presisif jika kita melihat kebisuan ekonomi Kapitalisme menjawab tantangan krisis global saat
ini. Maka muncul kesimpulan sementara: ekonomi apapun namanya, saat ia eksis dan berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat dunia dan sustainabilitas alam semesta, hampir dipastikan sesungguhnya dia sedang beririsan dengan ekonomi Islam. Jangan sampai malah kita tersindir oleh ujaran Muhammad Abduh: “Aku melihat Islam di Barat tapi tidak melihat muslimun disana. Sebaliknya, Aku melihat banyak muslimin di Timur, tapi sedikit sekali melihat Islam disana”. Sehingga, menemukan dan mendeskripsikan “irisan-irisan” antara “isme-isme” yang ada dengan ekonomi Islam menjadi sebuah kerja intelektual selanjutnya. Dan Allahlah Yang Maha Tahu atas segala.

Penulis : Aam Slamet Rusydiana
EKONOMI ISLAM SUBSTANTIF - zonaekis.com
{[['']]}

Emas Tidak Mengenal Inflasi

Selasa, 19 April 2011 emas sentuh level tertinggi dalam sejarah, nilainya mencapai 1.498,60 dollar AS per troy once, sebuah bukti bahwa emas adalah logam yang begitu berharga di mata masyarkat dunia, tren nilainya semakin menguat selama satu dasawarsa terakhir, yakni sebesar 406%.
Emas sebagai logam mulia dikenal sebagai alat investasi sejak lama oleh manusia, yakni dalam bentuk batangan emas, perhiasan dan mata uang (dinar). Emas disebut sebagai pelindung asset yang sempurna dan alat investasi yang menguntungkan. Dibanding dengan uang kertas dan komoditas lain, nilai emas tidak mudah turun. Selain itu, emas dianggap mempunyai nilai daya beli yang konsisten. Sebagai gambaran, ketika harga emas turun, maka harga komoditas lain akan turun, namun sebaliknya ketika harga emas naik, belum tentu harga komoditas mengalami kenaikan.
Selain itu, jika berinvestasi dengan emas, aspek positifnya ialah emas tidak tersentuh sistem perbankan yang menelan biaya administrasi, pajak, biaya tambah lainya dan bahkan inflasi seperti halnya jika menabung uang kertas di bank. Sebagai contoh jika seseorang menabung uang di bank dengan bunga 6,5% dan laju inflasi mencapai 6,3%, maka orang tersebut hanya menikmati keuntungan senilai 0,2%, kondisi belum dikurangi oleh besaran biaya-biaya lainnya yang tentunya akan semakin membuat masyarakat menabung mengalami kerugian.
Hal ini tentu berbeda jika kita menabung dengan menggunakan emas. Karena emas memiliki nilai material asli sedangkan mata uang kertas tidak. Sering kita tidak sadar bahwa nilai uang kertas tidak seperti yang tertera di lembarannya. Yang jelas nilai uang kertas terhadap komoditas menurun tiap waktunya.
Dengan kata lain, emas dianggap tidak kenal inflasi. Oleh sebab itu, Banyak orang menyebut bahwa emas merupakan instrument investasi yang paling aman dan menguntungkan dibanding instrumen lain.
Penulis : Muhammad Mamduh
{[['']]}

Ekonomi Islam dan Prinsip-prinsipnya

Ekonomi Islam ialah pengetahuan dalam penerapan, perintah-perintah yang ditetapkan oleh syariah yang mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kewajiban mereka kepada Allah SWT.(Drs. Wahab Zaenuri, M.Ag.).
Sedangkan menurut M. Umer Chapra “Islamic economic was defined as that branch of knowledge which helps realize human well-being through an allocation and distribution of scarce resources that is in confirmity with Islamic teaching without unduly curbing individual freedom or creating continued macro economic and ecological imbalances.” Ekonomi islam ialah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidaksinambungan lingkungan.
Islam merupakan agama yang begitu sempurna, Islam begitu konsen pada sebuah tatanan yang mengedepankan konsep spiritual dan material ditempatkan secara seimbang. Al qur’an dan as sunnah sebagai sumber hukum yang penting dalam agama islam. Keduanya memuat segala apa yang dibutuhkan oleh manusia, termasuk urusan interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhannya (ekonomi/ mu’amalah). Di dalam kedua sumber pokok ajaran agama islam, memang tidak dijelaskan secara rinci dan detail mengenai urusan ekonomi/ mu’amalah, namun bukan berarti islam tidak mempunyai dasar hukum sekaligus petunjuk tentang ekonomi bagi pemeluknya. Justru hal ini yang menjadi keunikan dalam kesempurnaan agama islam itu sendiri. Mengenai ekonomi (mu’amalah) Allah hanya menempatkan pedoman-pedoman dasar sebagai sebuah guide line untuk umat manusia, uniknya guide line tersebut mampu senantiasa berkembang sesuai tuntutan zaman. Allah menempatkan pedoman-pedoman dasar dalam kalam-Nya dan sunnah nabi karena tingkat kebutuhan manusia tiap zamannya akan selalu berbeda. Pedoman dan prinsip dasar ekonomi islam tersebut meliputi:

Prinsip-prinsip atau nilai universal ekonomi islam

a. Tauhid
Tauhid merupakan fondasi dan esensi dasar dari ajaran agama islam. Di mana dengan tauhid manusia mengenal Allah, tujuan hakiki kehidupan manusia di dunia. Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, yang meletakkan nilai material dan spiritual secara seimbang.

b. Adil dan Ihsan
Adil dan baik merupakan konsep mu’amalah yang diajarkan islam kepada ummatnya. Keadilan dan kebaikan yang terwujud dalam keseimbangan dan persamaan dalam kehidupan akan memberikan kesejahteraan yang menyeluruh dalam masyarakat.

c. Khilafah dan Tanggungjawab
Diturunkannya Nabi Adam dan keturunannya di muka bumi agar mereka menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi dengan segala kewajibannya untuk memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan di bumi. Segala urusan yang telah diberikan Allah kepada manusia akan selalu ada pertanggungjawabannya tanpa terkecuali.

d. Bebas dalam bertindak (Freedom to act)
Manusia diciptakan oleh Allah dengan bekal hidup yang sempurna. Manusia diciptakan mempunyai akal pikiran dan hati nurani guna beraktifitas sesuai jalan yang digariskan oleh Allah. Manusia diperbolehkan menggali sumber daya untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan bebas. Tidak ada kekangan dan paksaan dalam konsep ini. Namun kebebasan ini tidak bisa diartikan secara tekstual, artinya ada aturan pokok (guide line) sebagaimana yang terdapat dalam fiqih mu’malah yang harus dipatuhi demi terjadinya keseimbangan dalam kehidupan.
{[['']]}

Sejarah Uang

Pada awal peradaban manusia, jenis kebutuhan manusia masih sangat sederhana. Manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri dengan cara berburu dan atau mengambil buah-buahan untuk mereka makan. Pada masa awal ini manusia belum mengenal tukar menukar barang atau jual beli barang kebutuhan (komoditas) satu sama lain.
Ketika populasi manusia bertambah dan peradaban mereka semakin berkembang, kegiatan dan interaksi mereka semakin intensif. Di masa ini kebutuhan mereka semakin meningkat. Satu sama lain saling membutuhkan, karena tidak ada individu secara sempurna guna memproduksi sendiri barang kebutuhan meraka. Oleh karena itu manusia saling tukar menukar komoditas untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk mengadakan pertukaran ini dibutuhkan adanya keinginan pada waktu yang beramaan (double coincidence of wants) dari pihak yang melakukan pertukaran ini. Namun semakin beragam dan kompleks kebutuhan meanusia, semakin sulit untuk menciptakan kondisi tersebut. Keadaan yang demikian tentu mempersulit interaksi ekonomi (mu’amalah) manusia. Itulah sebabnya kemudian diperlukan adanya alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihk. Alat tukar ini kemudian disebut uang. Uang pertama kali dikenal pada masa peradaban Sumeria dan Babylonia. Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti sejarah. Dari perkembangan ini, uang kemudian dikategorikan dalam tiga jenis, uang barang (komoditas), uang logam, uang kertas, uang giral dan uang kredit.

a) Uang Barang (commodity money)

Uang barang adalah alat tukar yang memiliki nilai barang atau bisa dipertukarkan dengan barang lainnya, keberadaan dan fungsinya disepakati dan diterima oleh masyarakat. Akan tetapi semua barang tidak dapat dianggap uang, diperlukan kondisi utama sebagai syarat.
- Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu harus terbatas
- Daya tahan (durability), barang tersebut harus tahan lama.
- Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan transaksi
Namun dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa uang barang memiliki kelemahan. Diantaranya, uang barang tidak memiliki pecahan, sulit untuk disimpan dan sulit untuk diangkut.

b) Uang logam/ bimetalisme (dinar dan dirham)

Di masa selanjutnya, untuk menutupi dan menghilangkan kelemahan uang barang pilihan uang oleh manusia jatuh pada logam-logam mulia, seperti emas dan perak yang dijadikan uang. Selain karena nilai intrinsiknya yang tinggi, uang logam juga bisa dipecah menjadi nagian-bagian yang kecil, mudah dibawa, lebih fleksibel dari pada uang barang sebelumnya, dan nilainya yang tidak mudah susut atau tergerus oleh pergeseran harga (inflasi).
Dalam pergeseran masa, uang logam tidak hanya dimonopoli oleh emas dan perak saja. Manusia juga memberlakukan logam-logam selain emas dan perak seperti tambaga untuk dijadikan uang dan alat tukar yang sah. Meskipun uang logam yang terbuat dari tembaga masih digunakan samapi sekarang, emas dan perak sudah tidak digunakan lagi sebagai uang sejak 1930an pasca Perang Dunia I. Tercatat dalam sejarah mata uang ini terakhir kali digunakan oleh bangsa turki dibawah kekuasaan Khalifah Utsmaniyah.

c) Uang Kertas (token money)

Ketika uang logam masih digunakan, ada beberapa pihak yang melihat keuntungan dari kondisi saat itu. Pihak-pihak ini disebut bank, orang yang meminjamkan uang, pandai-pandai emas dan toko-toko perhiasan. Pada awalnya uang ini muncul sebagai bukti atau surat kepemilikan, peminjaman, penitipan seseorang atas uang logam di tempat dimana seseorang menyimpan uang logam atau emas dan perak tersebut. Oleh karena adanya pendukung (backing) dari kepemilikan kertas tersebut akhirnya masyarakat umum menerima kertas tersebut sebagai uang yang sah untuk alat tukar yang sah.
Keadaan ini berlanjut sampai uang kertas lebih dominan digunakan oleh sistem perekonomian. Bahkan sejak 1976 , uang kertas yang dikeluarkan oleh pihak bank sentral di setiap negara di seluruh dunia tidak didukung (dibacking) oleh cadangan emas. Sistem ini kemudian disebut dengan fiat money.
Diantara keuntungan penggunaan dari uang kertas ialah biaya produksi/ pembuatan uang yang lebih rendah, penyimpanan, pembawaan dan pengiriman uang yang lebih mudah serta efisien, pengurangan dan penambahan nilai yang lebih mudah, serta dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan jumlah berapa pun.
Namun, penggunaan uang kertas sebagai uang dalam sistem fiat money mempunyai kekurangan ysng signifikan pula, dari sisi nilainya, nilai intrinsik uang kertas jauh lebih kecil dibawah nilai nominal uang tersebut, disamping itu uang kertas lebih mudah tergerus nilainya nilai komoditas-komoditas kebutuhan masyarakat di pasar. Oleh kartena itu, pihak bank sentral masing-masing negara yang mengeluarkan uang tersebut begitu ketat dalam pembuatan, pengawasan bahkan intervensi terhadap peredaran dan nilai uang kertas.

d) Uang giral (bank note/ deposit money)

Uang giral merupakan uang yang dikelurkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang ini muncul karena perkembangan dunia perbankan yang begitu pesat dan sangat siginifikan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediatory institution) dalam perekonomian. Adapun kelebiahan uang giral ialah:
- Seandainya uang ini hilang, keberadaanya akan sangat mudah untuk dilacak sehingga tidak mudah untuk digunakan oleh orang yang tidak berhak.
- Dapat dipindahtangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah
- Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat dapat ditulis sesuai dengan nilai transaksinya.
Namun, dibalik kemudahan penggunaan uang giral, terselip bahaya besar yang terdapat pada kemudahan pihak perbankan komersil yang mengeluarkannya ditambah dengan instrumen bunga berpeluang terjadinya peredaran uang yang lebih besar dari pada nilai transaksinya. Dalam prakteknya, meskipun Bank Sentral sebagai otoritas tertinggi perbankan, namun bank sentral tidak secara pasti bisa mengakurasi peredaran uang jenis ini karena pengawasan dan penerbitannya berada langsung di pihak bank komersil. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy).
{[['']]}

Pendapatan Nasional Dalam Teori Konvensional dan Ekonomi Syariat

Pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu (biasanya satu tahun) atau dapat diartikan pula bahwa pendapatan nasional adalah jumlah penghasilan yang diterima pemilik faktor-faktor produksi sebagai balas jasa atas sumbangannya dalam proses produksi dalam kurun waktu satu tahun (periode tertentu).
Perhitungan pendapatan nasional dapat memberikan perkiraan seluruh produk yang dihasilkan di dalam negeri (GDP) secara teratur yang merupakan ukuran dasar dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa serta memberikan pemahaman terhadap kerangka kerja hubungan antara variabel makroekonomi yaitu output, pendapatan, dan pengeluaran.
Terdapat tida element penting dalam konsep ini antara lain produk domestik bruto (gross domestic product/ GDP), produk nasional bruto (gross nasional product/ GNP) dan product nasional netto (net national product/ NNP).
GDP merupakan jumlah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara ditambah barang dan jasa perusahaan asing yang berprestasi di negara tersebut, tidak termasuk hasil barang dan jasa warga negara tersebut yang berkerja di luar negeri. Sedangkan GNP adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara ditambah hasil barang dan jasa atau pendapatan warga negara tersebut yang berkerja di luar negeri selama satu tahun. GNP Tidak termasuk barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan asing yang beroperasi negara tersebut. Dengan konsep GNP tersebut ada perhitungan yang akan menimbulkan ”pembayaran dari luar negeri”. Timbulnya pembayaran dari dalam dan luar negeri akan menimbulkan pendapatan netto luar negeri (PNLN) yang merupakan selisih antara pembayaran dari dalam negeri dengan pembayaran ke dalam negeri. Jika diperbandingkan antara GDP dan GNP maka terdapat kondisi yang mungkin terjadi pada suatu negara:
GDP > GNP, berarti penghasilan penduduk suatu negara yang berkerja di luar negeri akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu dan menunjukkan perekonomian negara belum maju, karena pembayaran ke luar negeri lebih besar bila dibanding dengan pendapatan dari luar negeri yang berarti pula bahwa investasi negara asing lebih besar dibanding investasi negara tersebut di luar negeri.
GDP < GNP, berarti penghasilan penduduk suatu negara yang berkerja di luar negeri akan lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara tersebut dan menunjukkan bahwa perekonomian negara relatif maju, karena pembayaran ke luar negeri lebih kecil dibanding pendapatan dari luar negeri serta menunjukan investasi negera tersebut di luar negeri lebih besar. GDP = GNP, berarti penghasilan akan sama besar antara penduduk yang berkerja di dalam dan di luar negeri. Adapun produk nasional netto (NNP) adalah nilai pasar barang dan jasa yang dihasilkan selama satu tahun dikurangi penyusutan atau depresiasi dan penggantian modal (replacement). NNP dapat dirumuskan dengan persamaaan sebagai berikut : NNP = GNP – (penyusutan + replacement) Perhitungan Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional yang merupakan ukuran terhadap aliran uang dan barang dalam perekonomian dapat dihitung dengan tiga pendekatan: (1) Pendekatan produksi (production approach), (2) Pendekatan pendapatan (income approach), (3) Pendekatan pengeluaran (expenditure approach).
a. Pendapatan nasional dengan pendekatan produksi (production approach).
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added), dari semua sektor produksi. Penggunaan konsep ini dilakukan guna menghindari terjadinya perhitungan ganda (double accounting). Adapun nilai tambah adalah selisih harga jual produk dengan biaya produksi.
Perhitungan pendapatan dengan pendekatan produksi di Indonesia dilakukan dengan menjumlahkan semua sektor industri yang ada, sektor industri tersebut diklasifikasikan menjadi 11 sektor atas dasar Internasional Standard Industrial Clasification. Kemudian, dalam perkembangannnya perhitungan dengan pendekatan metode ini di Indonesia dilakukan dengan menggunakan 9 sektor yang meliputi sektor produksi (1) pertanian, perternakan dan kehutanan (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan (4) listrik, gas, dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, perseawan dan jasa perusahaan lain, Dan (9) jasa-jasa.
Metode produksi dapat dilihat dengan persamaan sebagai berikut :

Y = ∑ NTb1-9 atau Y = NTb1 + NTb2 + NTb3 ............................+NTb9

Keterangan Y = Pendapatan nasional
NTb = Nilai Tambah

b. Pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran (income approach).
Metode ini dilakukan dengan cara menjumlahkan semua pengeluaran oleh masyarakat maupun pemerintah, atau dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi. Pendekatan ini sering disampaikan dengan persamaan sebagai berikut :

Y = C + I + G + (X-M)

Keterangan
Y : pendapatan nasional
C (consumption) : pengeluaran masyarakat berupa konsumsi
I (investment) : investasi
G (government) : pengeluaran pemerintah
X-M (export-import) : ekspor netto diambil dari selisih ekspor dan impor (X= ekspor dan M= impor)

c. Pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan (expenditure approach)
Pengertian pendapatan nasional dengan metode pendapatan adalah jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat sebagai balas jasa atas penyerahan faktor-faktor produksi yang dimiliki selama tahun yang dinilai dengan satuan nilai uang.
Dengan demikian penghitungan ini merupakan penjumlahan dari sewa tanah, gaji upah, bunga modal atau bagi hasil investasi dan laba pengusaha. Secara matematis dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

Y = W + I + R + P
Keterengan :
Y = pendapatan nasional
W (wages) = upah
I (interest/ invesment) = bunga (konvensional) atau bagi hasil (syariah)
R (Rent) = sewa
P (profit) = laba pengusaha
Penghitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan dalam perspektif konvensional dengan perspektif syariah terjadi perbedaan yang begitu signifikan. Dalam perspektif konvensional, penghitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan menggunakan bunga (interest/ I) dalam penghitungan matematisnya, sedangkan pendapatan nasional dengan metode pendapatan dalam perspektif islam menggunakan bagi hasil yang diperoleh dari investasi (invesment/ I), karena bunga adalah riba dan dihukumi haram oleh syariat islam.

Pendapatan Nasional Dalam Perspektif Islam

Pendekatan ekonomi konvensional menyatakan GDP atau GNP riil dapat dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi (measure of economic welfare) pada suatu negara. Saat GNP naik, maka diasumsikan bahwa rakyat secara materi bertambah baik posisinya atau sebaliknya, tentunya setelah dibagi dengan jumlah penduduk (GNP per kapita). Akan tetapi, bagi sejumlah ekonom (ekonom muslim) konsep tersebut ditolak. Mereka mengatakan bahwa GNP per kapita merupakan ukuran kesejahteraan yang tidak sempurna. Jika nilai output turun sebagai akibat orang-orang mengurangi jam kerja atau menambah waktu istirahatnya, maka hal itu bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk. Seharusnya ukuran kesejahteraan ekonomi dalam konsep GDP atau GNP riil harus mampu menggambarkan kesejahteraan pada suatu negara secara riil. Konsep GDP atau GNP riil dalam ekonomi konvensional tidak mampu menjawab hal tersebut.
Beberapa analisis penerapan konsep GDP riil/ per kapita secara Islami sebagai indikator kesejahteraan suatu negara dan selayaknya dilakukan oleh pemerintah sebagai berikut:
Umunya hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP tidak mencerminkan kondisi riil pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat. Produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri, tidak tercakup dalam GNP. Dalam konsep tersebut seharusnya mampu menggambarkan dan mengenali penyebaran alamiah dari output perkapita secara riil. GNP juga tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang tidak ditransaksikan di pasar. Itu artinya kegiatan produktif keluarga yang langsung dikonsumsi dan tidak memasuki pasar tidak tercatat di dalam GNP. Di samping itu, seharusnya konsep pendapatan nasional harus lebih memberi tekanan/ bobot terhadap produksi bahan kebutuhan pokok. Selama ini konsep pendapatan nasional memberi nilai yang sama antara bahan kebutuhan pokok dengan komoditas tersier lain jika nilai nominalnya sama.

a. Pendapatan nasional harus mampu mengukur produksi di sektor pedesaan dan sektor riil. Tingkat produksi komoditas dalam subsistem pedesaan dan sektor riil begitu penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan mengentaskan kemiskinan oleh pemerintah. Data tersebut dapat menjadi landasan kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan yang menyangkut ekonomi riil dan ekonomi masyarakat pedesaan.

b. Pendapatan nasional harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi islami. Pendapatan per kapita yang yang ada selama ini tidak menyediakan data yang cukup untuk mengukur kesejahteraan yang sesungguhnya. Oleh karena itu sungguh menarik tentang apa yang telah dinyatakan dalam konsep measures for economic welfare oleh akademisi barat yang menyatakan bahwa kesejahteraan rumah tangga yang merupakan ujung dari seleruh kegiatan ekonomi yang sebenarnya bergantung pada tingkat konsumsinya. Karena sesungguhnya konsep ini memberikan petunjuk-petunujuk berharga untuk memperkirakan level kebutuhan hidup minimum secara islami

c. Konsep tersebut menggunakan 6 kategori yang lebih kompleks dalam pendekatannya, antara lain; (1) belanja untuk keperluan publik (public expenditure), (2) belanja rumah tangga (durable goods consumption), (3) memperkirkan kesejahteraan sebagai akibat urbanisasi, polusi, dan kemacetan (loss of welfare due to pollution, urbanization and congestion) (4) memperkirakan nilai jenis barang-barang tahan lama yang dikonsumsi selama satu tahun (value of durable actually consumed during the year), (5) memperkirakan nilai pekerjaan yang dilakukan sendiri, yang tidak melalui transaksi pasar (value of non-market services), dan (6) memperkirakan dari nilai rekreasi (value of leisure).
Selanjutnya, keenam kategori tersebut diimplementasikan dalam persamaan matematis sebagai berikut:
MEW = public expenditure – durable goods consumption – loss of welfare due to pollution, urbanization and congestion + value of durable actually consumed during the year + value of non-market services + value of leisure.

d. Pendapatan nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui pendugaan nilai santunan antar saudara dan sedekah. Di negara muslim, jumlah dan kisaran dari kegiatan dan transaksi yang didasarkan pada keinginan untuk melakukan amal kebajikan memiliki peranan penting. Tidak hanya karena luasnya kisaran dari kegiatan ekonomi tetapi juga memberikan dampak positif bahkan produktif dalam masyarakat melalui zakat, infak dan shadaqah.
Di samping aspek material tersebut, secara singkat, satu elemen fundamental yang membedakan sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah merupakan kesejahteraan yang hakiki, dimana komponen rohaniah/ spiritual dan material hadir secara seimbang dan saling melengkapi. Dan pada intinya, ekonomi islam mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial islam. Maka dari itu, selain memasukkan unsur falah, perhitungan pendapatan nasional berdasarkan islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
{[['']]}

Fiqih Makro Ekonomi Islam

Kajian fiqih ekonomi makro merupakan kajian yang didasarkan atas teori dan sumber-sumber hukum fiqih mu’amalah dalam memberi patokan atau rules kepada manusia dalam bermu’amalah. Dalam hal ini, kajian fiqih ekonomi makro hanya dibatasi dalam fiqih riba dan fiqih zakat.
Fiqih Riba.
Riba secara etimologi adalah zada yang berarti tambahan (addition), pertumbuhan (growth), naik (rise), membengkak (sweel) dan bertambah (increase). Secara terminologi, riba diartikan sebagai proses transaksi baik tukar menukar sejenis atau proses hutang piutang yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, di mana dalam transaksi tersebut diharuskan atau dipersyaratkan adanya margin, fee, atau return oleh salah satu pihak.
Kata riba di dalam bahasa inggris lebih populer dengan istilah Usury yang mengandung dua dimensi, yaitu (1) tindakan atau praktek peminjaman uang dengan tingkat suku bunga yang berlebihan dan tidak sesuai hukum dan (2) suku bunga (interest rate) yang tinggi. Sejak abad klasik sampai era modern, konsep tersebut dipakai oleh lembaga keuangan modern, terutama oleh perbankan konvensional selama berabad-abad.
Sedangkan dalam perspektif fiqih islam praktek semacam itu tidak diperbolehkan (haram) dengan jelas tanpa pengecualian. Setidaknya pendapat inilah yang lebih masyhur dan normatif diantara khilafiyah para ulama’ yang mengacu pada konsep fiqih klasik bahwa “kullu qardlin jarran manfa’atan fahuwa riba”, artinya setiap hutang yang mendatangkan keuntungan berupa manfa’at adalah riba.
Riba dilarang dalam agama Islam karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Dimana, terdapat pihak yang menanggung beban lebih berat akibat bunga (interest) yang diberlakukan, sedangkan di pihak lain mengalami pertambahan keuntungan yang sangat signifikan. Pada dasarnya, dalam praktek riba tidak ada prinsip keseimbangan dan tolong menolong antar sesama.
Fiqih Zakat
Zakat merupakan pilar penting bagi tata kehidupan sosial-religi umat islam. Dimana si kaya (yang telah memenuhi syarat) diwajibkan memberikan sebagian harta mereka (sesuai aturan) untuk diberikan kepada umat yang membutuhkan (8 Ashnaf).
Zakat merupakan pilar agama islam dalam tata perokonomian umat. Zakat adalah jawaban yang tepat untuk menghadirkan pendapatan dan kesejahteraan yang merata dalam masyarakat dan menghapus kesenjangan yang tidak diharapkan oleh sebagian besar orang. Zakat akan memberikan dampak positif bagi orang yang membutuhkan, setidaknya akan mengurangi beban mereka, akan tetapi zakat juga memberikan dampak yang positif pula bagi yang mereka mengeluarkannya.
Dewasa ini, pengelolaan zakat yang dilakukan secara profesional menekankan adanya pemberdayaan ekonomi umat agar mereka lebih produktif untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pengelolaan zakat yang profesional, tidak serta merta memberikan harta zakat kepada mustahiq untuk dikonsumsi dan jauh dari pragmatisme zakat sebelumnya.
{[['']]}

Inflasi

Inflasi
Bukan Fenomena Moneter, demikian penjelasan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution di Jakarta, awal januari lalu, terkait laju inflasi tahunan (year on year) yang terjadi pada bulan Desember 2010. Meski angka Inflasi tersebut terbilang besar dan berada di atas level laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, pada waktu itu Bank Indonesia belum merespon Inflasi yang mencapai level 6,96%. Kebijakan Eksekutif Kebon Sirih tersebut menuai tanggapan negatif dari pasar, terbukti rupiah melorot ke level Rp. 9.144,- per dolar AS.
Inflasi, dapat dikatakan sebagai proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Dalam pembangunan perekonomian, inflasi merupakan indikator dan parameter pertumbuhan laju perekonomian ekonomi. Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), hiperinflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit endemis dan berakar dari sejarah perekonomian bangsa. Jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Thailand, inflasi di Indonesia cenderung lebih tinggi. Inflasi di Indonesia tinggi sekali pada zaman Orde Lama, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent, (“kalau perlu uang, cetak saja”). Kebijakan tersebut membuat mata uang rupiah kelebihan penawaran yang berakibat nilai tukar rupiah sangat lemah terhadap komoditas barang dan mata uang asing. Di zaman orde baru pun sama, pemerintah masih kesulitan untuk menekan laju inflasi. Di tahun 1997, laju inflasi melaju jauh di atas angka pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi yang mengecewakan membuat hilangya kepercayaan rakyat dan merambah ke sektor sosial dan politik yang pada akhirnya membuat kedua rezim tersebut tumbang.
Di era reformasi, peran dan fungsi Bank Indonesia lebih dioptimalkan sebagai lembaga moneter negara, diantaranya mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Meski demikian, rata-rata inflasi per tahun yang terjadi di negeri ini masih berada di atas level 5%. Inflasi tertinggi terjadi di tahun 2005, yakni berada pada level 17,11%. Prestasi yang begitu apik di ukir oleh pemerintah, di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, inflasi berada pada level 2,78 persen. Inflasi yang berada pada level 2,78 persen merupakan sinyal yang bagus bahwa Indonesia tidak terganggu oleh krisis global yang sedang mendera Amerika Serikat dan negara-negara lainnya pada saat itu. Meski demikian, beberapa pengamat menyatakan, bahwa keberhasilan yang dicapai oleh pemerintah bukan disebabkan oleh kebijakan dan kinerja pemerintah. Melainkan karena kondisi pasar itu sendiri, baik dari segi penawaran dan permintaan.
Di tahun 2010, meningkatnya harga-harga bahan pangan akibat ganggun produksi dan distribusi bahan pangan, khususnya beras dan bumbu-bumbuan, membuat inflasi melesat begitu tinggi, yakni berada pada level 6,96% (year on year). Harga cabai yang mencapai Rp. 150.000 /Kg menjadi fenomena dalam masyarakat. Di bulan Januari 2011, inflasi mencapai 0.89% (month to month) dan inflasi tahunan 7,02% (year on year) dari Januari tahun lalu. Terus merangkaknya laju inflasi pada bulan Januari lalu, masih disebabkan oleh tingginya laju inflasi pada kelompok bahan pangan (volatile food), inflasi volatile food berada pada level 18,25% (yoy). Sementara itu, dari kelompok administired prices menunjukkan inflasi yang lebih ringan sebesar 5,21% dan inflasi inti yang relatif terkendali pada level 4,18%.
Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), jelas laju inflasi tersebut lebih tinggi dan membahayakan. Meski sempat bertahan pada bulan Januari 2011, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tertinggi di Indonesia akhirnya menaikkan suku bunga acuan BI (BI Rate) menjadi 6,75 persen pada awal Februari lalu, itu artinya naik 25 basis poin dari angka BI rate sebelumnya 6,5%. Angka BI rate 6,5% terbilang berumur cukup lama, angka tersebut bertahan selama 18 bulan. Kenaikan BI Rate membuat rupiah menguat ke posisi Rp. 9.000 per dolar AS dan mendorong Indeks Harga Saham Gabunagn (IHSG) ke level 3.496,17 naik 15,34 poin.
Kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia dengan menaikkan BI Rate sebagai langkah antisipatif untuk mengendalikan ekspektasi inflasi yang terus merangkak naik dan menjaga kestabilan nilai rupiah terhadap harga komoditas pasar. Naiknya BI Rate diharapkan akan mampu memberikan defense terhadap tekanan harga, terutama harga yang berasal dari sisi permintaan aggregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Inflasi yang berada di atas suku bunga acuan, juga membuat masyarakat penabung menjadi rugi, karena penurunan nilai mata uang lebih besar di atas suku bunga perbankan. Naiknya BI Rate diharapkan juga akan membuat masyarakat mau menyimpan dana mereka dan menahan sirkulasi uang dalam pembiayaan konsumtif melalui perbankan agar nilai rupiah terangkat naik. (Oleh Mamduh, Mahasiswa Perbankan Syariah IAIN Walisongo)
{[['']]}

Prediksi Ekonomi 2011

Pemerintah memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh mencapai angka 6,4% pada tahun 2011. Diprediksi total output (PDB) perekonomian Indonesia mencapai 858,4 miliar dollar AS, atau setara Rp. 7.726 triliun. Para ekonom berpendapat, peluang ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi dan berkesinambungan cukup terbuka.
Menurut Komite Ekonomi Nasional, berdasarkan data historis ekonomi Indonesia dapat berekspansi selama sekitar tujuh tahun (rata-rata). Padahal, Indonesia baru memasuki fase ekspansi ekonomi lagi pada Maret 2009 lalu. Itu artinya, ekonomi Indonesia akan berada dalam fase ekspansi sampai tahun 2016 mendatang. Keadaan ini diperkuat dengan pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi, cadangan devisa negara yang menguat, pembiayaan perbankan yang meningkat, nilai tukar rupiah terhadap dollar yang stabil dan kinerja pasar modal yang bagus.
Meski demikian, kerja keras pemerintah tetap terus ditunggu oleh masyarakat. Perkembangan ekonomi di sektor makro tidak akan berarti bagi rakyat kecil. Rakyat kecil tidak akan merasakan pertumbuhan ekonomi tersebut apabila sektor mikro tidak ikut tumbuh. Distribusi pendapatan yang tidak merata membuat kesenjangan kejahteraan dalam masyarakat. Minimya lapangan kerja dan kenaikan harga pangan yang semakin meningkat akan lebih memperparah nasib rakyat kecil. Dengan kondisi ekonomi yang masih timpang seperti ini, perlu adanya perubahan yang mendasar oleh pemerintah. Rakyat berharap, kedepannya pemerintah mampu memberikan kesejahteraan yang merata bagi semua lapisan masyarakat.
{[['']]}

Perbankan Syariah

Sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) dalam dunia ekonomi modern, fungsi dan peran perbankan sangat penting dalam perekonomian masyarakat. Bank menjadi media lalu lintas jasa keuangan (transaction permutation) dalam aktifitas ekonomi masyarakat, bank dapat mengeluarkan pembiayaan kepada pihak yang membutuhkan modal (lending) dan menjadi tempat menyimpan uang bagi mereka yang kelebihan dana (funding). Di samping itu, bank dapat melakukan aktivitas dan transaksi di luar konteks tersebut, seperti penagihan hutang (anjak piutang), jual beli sewa (leasing), hire purchase, mark-up dan kegiatan lain kecuali usaha asuransi, dan dana pensiunan.
Dalam mekanisme aktivitas perbankan konvensional, bank menerapkan mekanisme jasa pengembalian tetap (fixed return) dalam bentuk bunga (interest/ usury), di mana dalam pemberian kredit kepada pihak kedua (debitor) oleh pihak bank disyaratkan adanya balas jasa berdasarkan jumlah pinjaman dan disandarkan atas waktu atau tempo perjanjian hutang-piutang tersebut. Hal ini menimbulkan interpretasi hukum oleh kalangan ulama’ Muslim, karena konsep dan praktek tersebut dianggap riba dan diharamkan oleh syariat agama Islam.
Larangan Riba
Riba dalam agama Islam sangat dilarang, dalam beberapa ayat menyebutkan secara jelas akan hukum riba, diantaranya Al-Baqarah ayat 275 s/d 280, Ali Imron 130, An-Nisa’ ayat 161, surat Ar-Ruum 39. Larangan riba tidak hanya monopoli bagi agama Islam, namun juga agama samawi lainnya, setidaknya itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Dalam Perjanjian Lama, larangan riba terdapat dalam Leviticus 25:37, Deutronomy 23:19, Exodus 25:25; dan dalam Perjanjian Baru, dalam Luke 6:35. Di belahan dunia eropa sendiri, ketika kekuasaan gereja ortodoks masih dominan, riba pernah dilarang dalam Hukum Canon. Namun, seiring melemahnya kekuasan gereja, mereka mulai berkompromi dengan riba. Di Inggris larangan riba dicabut pada pertengahan Abad ke 16, tepatnya pada tahun 1545 oleh Raja Henry VIII. Pada Zaman inilah istilah Usury (riba) diganti dengan interest (bunga).
Riba sendiri berarti zada atau tambahan, Pertumbuhan (growth), naik (rise), membengkan (sweel), bertambah (increase), dan tambahan (addition). Secara terminologi, riba diartikan sebagai proses transaksi (baik tukar menukar atau proses hutang piutang) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, di mana dalam transaksi tersebut diharuskan atau dipersyaratkan adanya margin, fee, atau return oleh salah satu pihak. Secara garis besar, riba dibagi menjadi dua jenis yaitu Riba Nasi’ah dan Riba Al-Fadhl. Riba Nasi’ah terjadi dalam proses hutang-piutang yang di diwajibkan adanya return (interest/ usury) berdasarkan perhitungan berdasarkan pokok pinjaman yang disandarkan atas waktu sebagai syarat kepada pihak debitor. Sedangkan Riba Al-Fadhl terjadi ketika adanya tukar-menukar barang sejenis dengan kuantitas yang berbeda, sebagian ulama juga mempersyaratkan kualitas yang sama, jadi ketika terjadi penukaran dua barang sejenis dengan beda kuantitas namun beda kualitas tetap diperbolehkan.
Riba dilarang dalam agama Islam karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Dimana, terdapat pihak yang menanggung beban merasa berat akibat interest yang diberlakukan, sedangkan di pihak lain mengalami pertambahan keuntungan yang sangat signifikan. Pada dasarnya, dalam praktek riba tidak ada prinsip keseimbangan dan tolong menolong .
Berbagai pemikiran mulai muncul untuk menyikapi hal tersebut. Diantaranya ialah inisiatif untuk membentuk sebuah bank dengan sistem perbankan yang bebas bunga atau riba (free interest). Pemikiran ini mulai muncul pada paruh pertama Abad 20an, diantaranya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1946), dan Mahmud Ahmad (1952), Mawdudi pada 1950 (1961), dan tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah pada tahun 1994, 1955, 1957, dan 1962. buah pemikiran mereka tentang Bank Islam yang berdasarkan prinsip bagi hasil dan menaggung kerugian bersama (Profit and Loss Sharing Principle). Pada dasarnya, dalam kegiatan pendanaan oleh bank terdapat keseimbangan antara pemodal dengan penerima modal dan bebas dari riba.
Pendirian institusi keuangan dengan prinsip free interest dilakukan pada tahun 1963 di desa Mit-Ghamr, namun akhirnya ditutup karena berbagi alasan setelah sebelumnya tumbuh dengan mengesankan. Selanjutnya percobaan tersebut melahirkan Nasser Sosial Bank pada tahun 1972 yang lebih bertujuan sosial daripada komersial. Kemudian Bank Swasta bebas bunga didirikan oleh sekelompok pengusaha muslim dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun 1975. Dan pada tahun 1977 berdiri bank sebas bunga dengan nama Faisal Islamic bank di Mesir dan Sudan. Pada tingkat internasional pada 20 Oktober 1975 telah berdiri Islamic Development Bank (IDB) yang didirikan oleh 22 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Pendirian Bank Syariah di indonesia sendiri cenderung tertinggal dari Negara-negara muslim lain, karena di Malaysia, Pakistan, dan Iran sudah mendirikan institusi bank syariah sejak 1970an. Bahkan dua Negara yang telah disebutkan terakhir telah mengganti (mengkonversi) seluruh sistem perbankan mereka menjadi syariah. Di perbankan barat pun demikian, kini banyak perbankan konvensional barat yang membuka Islamic Windows, seperti Jardine Fleming, Citi Bank, HSBC, ANZ Bank dan lain-lain. Tidak hanya itu, tercatat para pengguna jasa bank syariah merupakan korporasi besar di bidangnya masing-masing, seperti General Motor, KFC, Xerox, IBM, General Electric, dan Chryler. Pendirian bank yang beroperasi dengan prinsip syariah di Indonesia di mulai pada tahun 1992 oleh prakarsa Majelis Ulama’ Indonesia, dengan berkerjasama dengan pemerintah mendirikan PT. Bank Muamalat Indonesia lahir pada tahun tersebut. Kondisi ini diperkuat oleh Undang-undang No. 22 tahun 1992 tentang perbankan, namun dalam UU tersebut belum disebutkan secara gamblang tentang mekanisme perbankan syariah dengan prinsip bagi hasilnya. Kemudian regulasi baru diterbitkan oleh pemerintah, melalu Undang-undang No. 10 tahun 1998. Undang-undang tersebut telah mengatur dengan jelas bagaimana mekanisme perbankan syariah di Indonesia. Langkah revolusioner tersebut diikuti oleh beberapa bank-bank lain yang kemudian berdiri dan adapula bank konvensional yang mendirikan Islamic Windows yang operasionalnya terlepas dari bank induk.
Perbankan syariah adalah perbankan yang beroperasi berdasarkan syriat agama Islam (Al-Qur’an dan Hadits). Perbankan syariah tidak mengenal pembayaran dan penerimaan Riba (fixed interest) dalam kegiatan usahanya. Perbankan syariah selalu menggunakan prinsip bagi hasil yang berpegang teguh pada prisip transaksi yang beretika dengan menjunjung teguh keadilan, keseimbangan, pemerataan dan kejujuran.
Karakteristik perbankan syariah memberikan alternatif baru dalam perekonomian masyarakat baik di sektor makro maupun mikro, perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil yang memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan perbankan, terdapat aspek keadilan dalam bertransaksi antar pihak, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan.
Pembentukan bank syariah semula memang banyak diragukan, sebab banyak kalangan yang beranggapan bahwa sistem bank bebas bunga adalah suatu hal yang tak mungkin dan tidak lazim.
Sebagai lembaga intermediasi keuangan syariah, bank syariah memberlakukan kegiataan usaha yang berlandaskan atas akad-akad transaksi yang didasarkan fiqih muamalah dengan prinsip bagi hasil dan kerugian (Profit and Loss sharing), diantaranya ialah akad mudharabah (commenda partnership), musyarakah (Joint Venture), ba’i murabahah (mark-up), wadi’ah (safekeeping) dan qardhul hasan (intersest-free loan).

Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah merupakan akad kerjasama usaha anatara dua pihak; pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak sebagai pengelola. Keuntungan usaha ini dibagi dengan nisbah bagi hasil, proporsi bagi hasil tersebut seuai kesepakatan, apabila terjadi kerugian maka kedua belah pihak menanggung bersama kerugian tersebut jika pengelola dana tidak melakukan kelalaian. Kerugian finasial hanya ditanggung oleh pemilik dana, sedangkan pengelola dana rugi atas usaha dan waktu. Secara operasional Mudharabah dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, Mudharabah Muthlaqah adalah jenis mudharabah di mana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. Kedua, Mudharabah muqayyadah adalah jenis mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana, antara lain mengenai tempat, cara, dan atau objek investasi. Dalam melakukan akad ini, bank syariah bertindak sebagai pemilik dana dan pengelola dana. Bank syariah menjadi pengelola dana ketika nasabah menyimpan uang (funding) di bank syariah dan menjadi pemilik dana ketika memberikan pembiayaan (lending) kepada pihak ke tiga.
Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah (Joint Venture) adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Dalam musyarakah, masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan baha keuntungan dibagi berdasrkan kesepakatan, sedangkan risiko berdasarkan porsi kontribuasi dana. Secara operasional, musyarakah ada dua jenis. Pertama, musyarakah permanent, yaitu musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Kedua, musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha), yaitu musyarakah dengan ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap kepada mitra, sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa akad, mitra akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut. Kedua belah pihak bia menjadi mitra aktif atau pun pasif. Mitra aktif adalah mitra yang mengelola usaha musyarakah, baik pengelola sendiri atau menunjuk pihak lai atas nama mitra tersebut; sedangkan mitra pasif yaitu mitra yang tidak ikut mengelola usaha musyarakah.

Pembiayaan Murabahah
Selanjutnya, pembiayaan murabahah merupakan transaksi yang mendominasi kegiatan perbankan syariah. Murabahah adalah traksaksi jual beli (ba’i) oleh dua pihak, dimana penjual menjual barang dengan harga jual yang sebesar harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga pokok barang tersebut kepada pembeli. Dalam pelaksanaan pembiayaan murabahah pihak perbankan akan menggunakan jasa pihak ketiga untuk memenuhi jual beli barang yang dilakukan dengan pihak kedua. Hal ini dilakukan oleh perbankan karena kemampuan mereka hanya sebatas sebagai lembaga intermediasi keuangan. Dalam mekanisme pembayaran pembiayaan murabahah, pihak bank bisa menerapkan sistem pembayaran tunai atau cicilan.
Dengan keunikan dan karakteristik pembiayaan jual beli yang dilakukan oleh bank syariah. Pembiayaan jual beli yang dilakukan bisa berkembang sesuai kebutuhan dan kemampuan dan keterbatasan para nasabah dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pembiayaan jual beli murabahah bisa berkembang menjadi pembiayaan jual beli yang lebih spesifik, diantaranya ialah pembiayaan ba’i salam, ba’i ishtisna’ dan ba’i bitsaman ajil.
Wadi’ah (safekeeping)
Wadi’ah secara harfiah ialah titipan. Wadi’ah adalah akad titipan yang dilakukan oleh dua pihak atas suatu objek tertentu. Titipan tersebut bisa bersifat tetap pada suatu objek dan tidak bisa dimanfaatkan oleh pemegang titipan (wadi’ah yad amanah), atau objet titipan bisa bersifat dimanfaatkan (wadia’ah yad dhamanah).
Konsep wadi’ah yad dhamanah dipakai oleh perbankan syariah dalam menerima simpanan (funding) para nasabah baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito. Pihak bank syariah akan mempergunakan dana simpanan untuk melakukan pembiayaan kepada pihak yang membutuhkan dana.
Dalam pengembalian dana simpanan nasabah, pihak bank syariah akan memberikan imbalan kepada nasabah dengan sistem bagi hasil. Marjin yang diberikan tersebut bersifat indikatif sesuai dengan keuntungan yang diperoleh bank.
Qardhul hasan (intersest-free loan).
Qardhul hasan adalah pinjaman kebajikan yang diberikan kepada pihak yang membutuhkan dana, dengan sistem pengembalian tanpa adanya marjin atau bunga. Qardhul hasan merupakan bentuk kepedulian bank syariah terhadap umat yang membutuhkan. Tidak ada yang disyaratkan dalam pembayaran pinjaman ini. Pihak bank tidak menerima dan menolak imbalan yang diberikan atas pinjaman ini. Pihak bank akan mempertimbang segala aspek sebelum memberikan pinjaman ini, tentunya kepada pihak yang benar-benar membutuhkan.
Selain langkah kebajikan yang ditempuh dalam memberikan pinjaman Qardhul hasan, perbankan syariah juga akan sangat peduli terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebagai lembaga yang berasaskan syariah, bank syariah akan memberikan sebagian harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya. Ini juga merupakan sebuah aksi bank syariah sebagai corporate social responsibility (CSR) dalam meningkatkankesejahteraan ummat. (Oleh Mamduh, Mahasiswa Perbankan Syariah IAIN Walisongo)
{[['']]}

Pasar Modal Syariah

Geliat Pasar Modal Syariah
Secara sederhana Pasar Modal Syariah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal dilarang, seperti riba, perjudian, spekulasi dan lain-lain.
Pasar Modal Syariah di Indonesia diterbitkan secara resmi pada tanggal 14 Maret 2003 oleh Menteri Keuangan pada saat itu Boediono. Hadir pula pada waktu itu ketua Bapepam, wakil Dewan Syariah Nasional, para direksi SRO, direksi Perusahaan Efek, dan stakeholder pasar modal. Di hari itu pula dilaksanakan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Bapepam dan DSN MUI.
Sebelumnya, pada tanggal 3 juli 1997 Reksadana Syariah telah berdiri terlebih dahulu, dan disusul dengan peluncuran Jakarta Islmic Index pada tanggal 3 Juli 2000. Jakarta Islamic Index adalah index yang dikeluarkan oleh BEJ dan merupakan subset dari Indexs Harga Saham Gabungan (IHSG). Tujuan dibentuknya Jakarta Islamic Index sebagai tolok ukur standar bagi saham secara syariah di pasar modal dan sebagai saran untuk meningkatkan investasi di pasar modal secara syariah.
PT. Indosat, Tbk. merupakan emiten pertama yang menerbitkan obligasi dengan akad mudharabah, yaitu obligasi syariah indosat tahun 2002 dengan nilai penerbitan sebesar Rp. 175 Miliar. Kemudian di tahun 2004 PT. Matahari Putra Prima, Tbk. menyusul PT. Indosat dengan menerbitkan Obligasi Syariah. Namun kali ini PT. Matahari Putra Prima, Tbk. menerbitkan Obligasi Syariah yang berbeda dengan PT. Indosat, yakni Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi ini menggunakan akad sewa sedemikian rupa, sehingga fee (return) ijarah bersifat tetap. Dan bisa diketahui/ diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan. Obligasi ini merupakan Obligasi Syariah Ijarah pertama yang ditawarkan ke dalam pasar modal.
Di pasar modal dunia, langkah revolusioner ditempuh oleh Dow Jones yang menerbitkan Dow Jones Islamic Market Indexs (DJIM) pada tanggal 8 Februari 1999 di Manama, Bahrain. Adalah A. Rushdi Siddiqui, perintis dan pencetus ide membentuk indexs saham untuk yang basis usahanya sesuai dengan prinsip syariah. Sebelumya, A. Rushdi Siddiqui berhasil meyakinkan David Moran, presiden Dow Jones untuk menerbitkan DJIM. DJIM kemudian bersanding dengan sembilan indeks global lainnya.
Prestasi fantastis dibukukan oleh DJIM di tahun 2001, ketika pasar kurang bergairah akibat krisis yang ditimbulkan oleh runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York, Amerika serikat. DJIM yang mencatat 1.862 saham dari 34 negara dengan kapitalisasi pasar mendekati 11 triliun dolar AS dan lolos dari screening syariah (produk dan jasa yang dihasilkan emiten tidak bertentngan dengan syariah), membukukan perolehan (return) hingga 19,22 persen. Ini sungguh angka yang lumayan yang bisa dicapai DJIM dalam usia belia, bandingkan dengan MSCI (indeks dunia) yang meberikan return 23,60 persen. Per negara, DJIM membukukan prestasi serupa. Simak untuk DJIM-US (Amerika) yang meraih 2.15 persen lebih tinggi dibandingkan indeks S&P 500 dalam tahun itu. Yang mengejutkan, DJIM-CAN (Kanada) memperlihatkan kinerja yang disebut ”impian” dengan membukukan total return 92,21 persen, jauh meninggalkan indeks TSE 300 yang harus puas dengan mencetak 29,73 persen. Ini adalah prestasi yang membanggakan, karena Dow Jones sendiri dan 9 indeks termasuk indek per negara dan regional yang diwakili AS, Kanada, Inggris, Jepang, Asia Pasifik, Jepang, Indeks Bluechip dan indeks tekhnologi Global yang menunjukkan kinerja buruk di tahun ini.

Regulasi Pasar Modal Syariah di Indonesia

Perbedaan prinsip yang diterapkan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional, bukan berarti pasar modal syariah mempunyai lantai bursa dan lembaga struktural sendiri, seperti halnya perbankan syariah dan perbankan konvensional yang berdiri dalam satu naungan otoritas Bank Indonesia. Pasar modal syariah pun berdiri bersama dengan pasar modal konvensional di bawah naungan Bapepam.
Sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 503/KMK.01/1997, Bapepam adalah pelaksana tugas di bidang pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan pasar modal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada meneteri keuangan, dan dipimpin oleh seorang ketua. Dan Sesuai pasal 2 keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 503/KMK.01/1997, Bapepam mempunyai tugas membina, mengatur, dan mengawasi segari-sehari kegiatan pasar modal yang wajar, teratur dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun dalam pelaksanaanya Bapepam sendiri tidak akan membuat apa itu syariahnya, Bapepam hanya akan membuat guide line saja, karena sudah ada Dewan Syariah Nasional yang mengurusi hal itu. Bersamaan diterbitkannya pasar modal syariah, Bapepam mengeluarkan 5 regulasi baru yang akan mengatur perjalanan pasar modal syariah dan membedakannya dengan pasar modal konvensional.
Pertama, menyangkut kebijakan umum. Ketentuan ini akan membahas kedudukan DSN dan Bapepam dalam kaitannya dengan pasar modal syariah. Ketentuan kedua mengenai proses emisi saham syariah. Regulasi ini akan menjadi rujukan bagi emiten baru yang berkehendak dicatat dalam daftar saham syariah. Ketentuan ketiga menyangkut indeks syariah yang akan menjadi pedoman penyusunan emiten-emiten yang layak masuk syariah. Ketentuan keempat menyangkut instrumen obligasi syariah. Jika sebelumnya hanya ada obligasi syariah mudharabah, keluarnya ketentuan keempat ini membuka jalan adanya obligasi syariah yang menggunakan skim ijarah. Ketentuan kelima tentang Reksadana syariah. Menyangkut ketentuan reksadana ini, sudah mulai dikembangkan produk reksadana yang bersifat hibrid (campuran), yakni fixed income (obligasi), equity (saham), mutual fund (reksadana), dan asset securitization (sekuritisasi asset).
Hal yang Harus diperhatikan oleh Emiten dan Investor adalah semua Efek yang diperjualbelikan dan Usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas Utama (Care Business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001. fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah islam; (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang. (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusikan, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram, (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, atau menyediakan barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
Selebihnya, regulasi pasar modal syariah tidak banyak berbeda dengan regulasi yang diterapkan oleh Bapepam terhadap pasar modal konvensional.

Efek Pasar Modal Syariah di Indonesia

Di Indonesia, ada 4 efek yang sering diperjualbelikan di pasar modal syariah antara lain, Saham Syariah, Obligasi Syariah Mudharabah, Obligasi Syariah Ijarah, dan Reksadana Syariah.

a. Saham Syariah
Dalam, saham syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.
Di indonesia, pembentukan saham ini dihimpun dalam Jakarta Islamic Indexs. Jakarta Islamic Indexs sebagai subset dari Indeks Harga Saham Gabungan terdapat 30 saham yang memenuhi keriteria syariah yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional, yakni pada fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001.
Selain hal tersebut JII, akan mempertimbangkan suatu saham dengan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu:
1) Memilih jenis kumpulan saham dengan jenis utama yang tidak bertentangan dengan syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar)
2) Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun terakhir yang memliki rasio kewajiban terhadap kativa maksimal 90%
3) Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (Market Capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir.

Selebihnya, pengoperasian saham syariah tidak jauh berbeda dengan pengoperasian saham konvensional dengan syarat tidak berseberangan dengan syariat islam. Diantarnya, dalam saham syariah emiten juga mempunyai hak atas menajemen emiten dan mempunyai hak suara sama besar dengan pemilik saham lainnya sesuai proporsinal saham masing-masing dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan (emiten). Seperti halnya saham konvensional pembagian keuntungan pada saham syariah oleh emiten kepada investor dengan membagikan deviden jika perusahaan memperoleh keuntungan di akhir periode setelah emiten/ perusahan setelah perusahaan membayar kewajiban terhadap kreditor, dan pemegang obligasi, serta pembayaran deviden kepada pemegang saham preferen pada tiap perioide yang sama. Dalam kondisi perusahaan/ emiten dilikuidasi, investor saham syariah menempati posisi yang sama dengan investor saham konvensional atas hak dan kewajiban terhadap emiten.

b. Obligasi Syariah Mudharabah
Obligasi Syariah Mudharabah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad bagi hasil sedemikian, sehingga pendapatan yang diperoleh investor atas obligasi tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten.
Merujuk pada Fatwa DSN No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/ Margin/ fee, serta membayar kembali dana obligasi pada jatuh tempo.
Obligasi ini pertama kali diterbitkan oleh PT. Indosat, Tbk. pada tahun 2002 dengan nilai penerbitan senilai Rp. 175 Miliar.
Berbeda dengan obligasi konvensional, obligasi syariah bukanlah surat hutang jangka panjang melainkan surta berharga nirriba (non riba), obligasi ini tidak menerapkan prinsip interest (bunga) yang harus dikembalikan pada waktu jatuh tempo dan dipersyaratkan kepada emiten. Karena Riba/ interest/ usury diharamkan dalam syariat hukum islam. Dalam obligasi ini terdapat prinsip penyertaan antara pemilik modal dengan emiten, namun pemilik modal tidak mempunyai hak atas manajemen emiten, berbeda dengan saham syariah di mana investor mempunyai hak atas manajemen emiten.
Obligasi ini diterapkan oleh emiten atas proyek-proyek tertentu yang kemudian ditawarkan kepada investor untuk didanai (obligasi syariah PT. Indosat, Tbk. tahun 2002). Oleh karena itu, pembagian hasil keuntungan dan kerugian didasarkan atas kinerja (pendapatan) yang dihasilkan oleh proyek tersebut, tidak berdasarkan laba yang dihasilkan oleh emiten secara keseluruhan di akhir periode.

c. Obligasi Syariah Ijarah
Obligasi Syariah Ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad sewa sedemikian, sehingga ia (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diketahui/ diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.
Obligasi syariah ijarah pertama kali diterbitkan oleh PT. Matahari Putra Prima, Tbk. pada tahun 2004.
Perbedaan obligasi ini dengan obligasi syariah mudharabah ialah obligasi ini diterapkan oleh emiten atas suatu proyek yang kemudian ditawarkan kepada para investor untuk didanai dengan akad ijarah (sewa). Kemudian proyek tersebut dijadikan underlying asset untuk pembayaran fee ijrah sesuai kesepakatan yang telah ditentukan sebelumya oleh kedua belah pihak.

d. Reksa Dana Syariah
Reksa Dana Syariah merupakan reksa dana yang mengalokasikan seluruh dana/ portofolio ke instrumen syariah seperti saham-saham yang tergantung dalam JII, Obligasi Syariah, dan berbagai Instrumen keuangan sayariah lainnya.
Dalam melakukan kegiatan investasi reksa dana syariah dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. diantara investasi tidak halal yang tidak boleh dilakukan adalah investasi dalam bidang perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain yang ditentukan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Dalam kaitannya dengan saham-saham yang diperjual belikan dibursa saham, BEJ sudah mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII). Di mana saham-saham yang tercantum didalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah.
Dalam melakukan transaksi reksa dana syariah tidak diperbolehkan melakukan tindakan spekulasi, yang didalamnya mengandung gharar seperti penawaran palsu dan tindakan spekulasi lainnya. (Oleh Mamduh, Mahasiswa Perbankan Syariah IAIN Walisongo)
{[['']]}
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Indonesia Syariah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger