Latest Movie :
Recent Movies

Analisis Jual Beli Saham Dalam Perspektif Hukum Syariah

Saham adalah sebuah instrumen investasi yang diperjualbelikan di pasar modal dalam perkembangan dunia ekonomi kontemporer. Dalam perkembangannya, saham sebagai salah satu instrumen investasi yang kompetitif dan memberikan kemudahan akses modal kepada para emiten yang ingin memperluas usahanya dan juga menawarkan keuntungan yang sangat signifikan kepada stakeholders yang berkecimpung di dalamnya.
Sebagai bentuk aktivitas muamalah manusia di muka bumi, jual beli saham tidak bisa lepas dari setiap ketentuan hukum islam (syariah) yang telah digariskan oleh Allah kepada manusia. Karena Agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang memuat nilai-nilai universal dan aturan yang komphrehensif.
Saham dalam istilah ekonomi diartikan sebagai tanda penyertaan modal atau kepemilikan seseorang (badan hukum) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Saham adalah sebuah intrumen keuangan yang dijualbelikan di bursa saham (pasar modal) dengan seperangkat regulasi yang ditetapkan pemerintah melalui Bapepam sebagai badan yang ditunjuk Menteri Keuangan. Adapun pasar modal adalah pasar untuk memperjualbelikan instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang, saham (ekuitas/ efek) instrumen derivatif, maupun instrumen lainnya. Adapun perusahaan yang melakukan penawaran saham disebut sebagai emiten.
Keinginan emiten dalam melakukan penawaran saham kepada publik akan sangat erat dilatarbelakangi oleh tujuan suatu perusahaan dalam menambah kapasitas dan ekspansi perusahaan. Oleh karena itu pula sebuah emiten akan berhitung tentang saham apa yang akan mereka tawarkan kepada publik. Di antaranya ialah saham biasa (common stock) dan saham turunan (prefered stock). Saham biasa (common stock) adalah saham yang menempatkan pemiliknya pada posisi paling junior dalam pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi. Sedangkan saham preferen adalah saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obilgasi) tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil yang dikehendaki investor.
Namun konsekuensi dari itu semua, sebuah perusahaan yang telah go public harus merelakan sebagian porsi manajemen kepada para pemegang saham, membagi hasil keuntungan berupa dividen di tiap akhir periode, melaporkan kegiatan dan laporan keuangan kepada publik, serta bersedia untuk dilakukan audit eksternal oleh auditor publik (independen). Sedangkan keuntungan perusahaan yang telah go public adalah mendapat suntikan modal di luar pembiayaan kewajiban untuk memperkuat struktur modal dan memperbesar kapasitas usahanya.
Dalam perkembangan dunia investasi keuangan, seperti halnya dalam dunia perbankan, saham juga mengalami perkembangan dan akulturasi implementasi nilai muamalah spiritual di dalamnya. Hal itu ditandai dengan hadirnya saham syariah di Indonesia dengan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli tahun 2000 sebagai maskotnya. Jakarta Islamic Index sendiri adalah index yang dikeluarkan oleh BEJ (sekarang BEI) sebagai subset dari Indexs Harga Saham Gabungan (IHSG).
Tujuan dibentuknya Jakarta Islamic Index adalah sebagai tolok ukur standar bagi saham berprinsip syariah di pasar modal dan sebagai sarana untuk meningkatkan investasi di pasar modal sesuai prinsip syariah. Kondisi tersebut sebelumnya sudah ditunjang oleh Reksadana Syariah yang telah berdiri terlebih dahulu pada tanggal 3 juli 1997, dan kemudian Pasar Modal berprinsip Syariah yang diterbitkan secara resmi pada tanggal 14 Maret 2003 oleh Menteri Keuangan pada saat itu Boediono.
Dengan adanya label syariah di belakang nama saham dan juga pasar modal syariah tentu terdapat sebuah perbedaan antara instrumen keuangan yang berbasis syariah dengan konvensional. Namun perbedaan prinsip yang diterapkan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional beserta instrumen keuangannya, bukan berarti bahwa pasar modal berprinsip syariah mempunyai lantai bursa dan lembaga struktural sendiri. Di Indonesia pasar modal berprinsip syariah berdiri sejajar bersama dengan pasar modal konvensional di bawah naungan Bapepam.
Namun dalam pelaksanaanya Bapepam sendiri tidak akan membuat apa itu syariahnya, Bapepam hanya akan membuat guide line saja, karena sudah ada Dewan Syariah Nasional yang mengurusi hal itu. Bersamaan diterbitkannya pasar modal syariah, Bapepam mengeluarkan 5 regulasi baru yang akan mengatur perjalanan pasar modal syariah dan membedakannya dengan pasar modal konvensional.
Namun dari kelima itu semua, hal yang Harus diperhatikan oleh Emiten dan Investor adalah semua Efek syariah, termasuk saham syariah yang diperjualbelikan dan Usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas utama (Core Business) yang halal dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah islam; (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang. (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusikan, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram, (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, atau menyediakan barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat. Selebihnya, regulasi pasar modal syariah tidak banyak berbeda dengan regulasi yang diterapkan oleh Bapepam terhadap pasar modal konvensional.
Namun dari semua itu, dalam dunia fiqih kontemporer masih terdapat khilafiyah yang cukup serius di antara para ulama’ mengenai jual beli saham. Pertama, bahwa ulama’ sepakat bahwa jual beli saham di pasar modal adalah jelas haram, jika saham emiten yang diperjualbelikan adalam saham emiten yang bergerak di bidang usaha yang haram. Kedua, jika saham yang diperjualbelikan adalah saham emiten yang bergerak di bidang usaha yang halal para ulama’ berbeda pendapat mengenai hal itu. “Menurut Syahatah dan Fayyadh, “Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar‘i. Namun Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali as-Salus sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak islami. Jadi, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan islami (syirkah islâmiyah) atau tidak.”
Namun demikian, meski beberapa ulama’ menyatakan pendapatnya, tentu taqlid bukan suatu pilihan yang tepat, oleh karena itu wajib hukumnya berijtihad untuk mendekati hukum jual beli saham yang lebih tepat. Aspek mendasar yang harus dicermati yakni secara umum semua aktivitas jual beli pada dasarnya hukumnya halal sesuai dalil-dalil yang menunjukkan halalnya jual beli, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 275. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa jual beli telah dihalalkan oleh Allah SWT. Meski begitu, apakah aktivitas jual beli saham dengan segala mekanisme yang diterapkan oleh Bapepam sudah sesuai dengan kaidah dan aturan syariat. Merujuk kembali kepada konsep dasar muamalah bahwa setiap aktivitas muamalah manusia adalah mubah (boleh) sebelum didapat dalil yang berkata berbeda (al-ashlu fil muamalah al ibahah illa ma dalla ad-dalilu ‘ala khilafihi), maka jual beli saham perlu dihadapkan kepada dalil-dalil lain yang menerangkan secara umum muamalah manusia yang mungkin akan berkaitan tentang jual beli baik dari segi rukun dan syarat jual beli.
Aspek pertama ialah substansi saham sebagai barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih), yakni saham adalah tanda penyertaan modal atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Dalam definisi tersebut dapat dipahami bahwa saham merupakan tanda/ surat (berupa secarik kertas) penyertaan kepemilikan atau modal seseorang atas suatu badan usaha. Namun dalam pengertian lain saham didefinisikan sebagai satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Dari pengertian kedua dapat dipahami bahwa saham adalah sebuah instrumen keuangan dari sebuah perusahaan yang menjadi satuan nilai kepemilikan seseorang atas suatu perusahaan. Oleh karena itu jika ditarik suatu benang merah di antara kedua definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa saham adalah bukti kepemilikan berupa penyertaan modal sesorang atas suatu perusahaan (badan usaha).
Dengan demikian, layaklah aktivitas jual beli saham dapat diqiyaskan sebagai akad pemindahan (mu’awwadlah) kepemilikan atas modal suatu perusahaan sebagaimana yang terjadi di pasar perdana bursa efek. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa tujuan utama dari suatu perusahaan yang ingin menjual beberapa sahamnya di lantai bursa ialah untuk memperoleh dana besar untuk memperkuat struktur modal, ekspansi atau perluasan usaha, meningkatkan investasi di anak perusahaan, melunasi sebagian utang dan menambah modal kerja. Maka dari penjelasan tersebut, jual beli saham dapat diartikan sebagai akad muawwadlah atas modal antara perusahaan (emiten) dan investor. Jika demikian, bagaimana hukumnya jika jual beli saham dipersamakan sebagai jual beli modal? maka hukumnya ialah boleh, karena modal bersifat stock consep tidak seperti uang yang bersifat flow consep dan tidak bisa dijadikan sebagai komoditas perdagangan.
Namun jika saham diartikan sebagai sebuah bentuk instrumen syirkah dalam suatu bisnis, apakah hukumnya halal juga? Meski syirkah adalah suatu muamalah yang dihalalkan dalam islam, apakah syirkah bisa dipindahtangankan melalui jual beli surat kepemilikan. Dalam buku Investasi pada pasar modal syariah diungkapkan bahwa secara praktis instrumen saham belum diperjualbelikan pada masa Rasulullah karena yang dikenal hanyalah jual beli komoditas secara riil. Pada masa itu belum dipresentasikan saham sebagai instrumen pengakuan perusahaan dalam bentuk syirkah. Dengan demikian bukti kepemilikan atau jual beli aset hanya melalui jual beli biasa dengan mekanisme pasar riil. Oleh karena tidak ada nash yang menyebut secara jelas hukum saham dan akad pemindahan kepemilikannya, maka beberapa ulama’ mengutarakan pendapatnya meski terjadi khilafiyah di antara mereka. Di antara pendapat yang paling kuat di antara mereka ialah pendapat yang memperbolehkan jual beli saham sesuai dengan terminologi yang melekat padanya, yakni sebuah saham yang dimiliki adalah menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham menjadi cerminan kepemilikan atas aset tertentu.
Aspek kedua tentang regulasi Bapepam mengenai mekanisme jual beli saham di pasar modal apakah sudah bisa mengakomodir ketentuan syariah tentang rukun dan syarat jual beli. Kondisi yang paling disoroti oleh para cendekiawan muslim ialah transaksi jual beli yang tidak dilakukan secara kontan (spot) dan bisa dipindahtangankan sebelum terjadi serah terima saham dalam pasar sekunder bursa efek.
Hal ini menimbulkan interpretasi hukum oleh beberapa ulama’, perlu diketahui bahwa dalam pasar modal, transaksi berjangka diberlakukan sesuai tingkat keperluan dan transaksi jual beli. Artinya transaksi yang dilakukan di dalam pasar modal syariah tidak dilakukan secara kontan dan riil sebagaimana transaksu jual beli biasa yang ditemui sehari. Namun dari pada itu, transaksi dalam bursa bukanlah jual beli as-Salm yang dibolehkan dalam syari'at Islam, karena keduanya berbeda dalam dua hal:
1) Dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi. Namun ditangguhkan pembayarannya sampai penutupan pasar bursa. Sementara dalam jual beli as-Salm harga barang harus dibayar terlebih dahulu dalam transaksi dan diserahterimakan sesuai kaidah jual beli.
2) Dalam pasar bursa barang transaksi dijual beberapa kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan, secara spekulatif melihat untung ruginya. Persis seperti perjudian. Padahal dalam jual beli as-Salm tidak boleh menjual barang sebelum diterima.
Maka dalam kondisi seperti itu, tentu saja syarat luzum dalam jual beli tidak terpenuhi. Selain itu, meski terdapat aqidain yang jelas dalam jual beli saham baik syariah maupun konvensional dalam pasar modal, namun masih terdapat sebuah kondisi yang tidak bisa menjelaskan terjadinya ijab dan qabul antara pihak penjual dan pembeli saham. Hal ini yang kemudian disoroti oleh Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali as-Salus seperti dalam beberapa paragraf di atas. Karena ijab dan Qabul adalah rukun dalam jual beli yang tidak bisa ditinggalkan. Setidaknmya itulah pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama’ yang condong ke pedapat imam syafi’i yang mewajibkan terjadinya ijab dan qabul dalam bentuk sighat dan majlis yang jelas.
Namun bagi para ulama’ dari golongan namun menurut Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dalam pendapat yang rajih (kuat) bahwa jual beli adalah sah apabila sudah menjadi adat kebiasaan (‘urf) yang menunjukkan kepada kerelaan dan perbuatan yang menggambarkan kesempurnaan kehendak dan keinginan masing-masing pihak seperti dalam kitab jual beli al-mu’athah, dan itu telah tergambar dalam jual beli saham yang telah dimaklumi oleh para stakholder.
Aspek ketiga, meski Dewan Syariah Nasional MUI yang mengeluarkan fatwa tentang Saham syariah masih ada beberapa hal yang patut dipertanyakan karena menurut penulis mampu menghilangkan konsep syariah dalam jual beli saham syariah itu sendiri, antara lain: Pertama, meski fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003 yang mengatur tentang larangan tindakan spekulatif dan jual beli saham sesuai prinsip syariah dalam pasar modal, namun kenyataan di lapangan ketentuan tersebut tidak bisa mengikat para stakeholder secara mutlak. Tentu saja, tindakan spekulatif para investor tidak akan bedanya dengan jual beli uang dan juga judi. Jika demikian tentu saja hukumnya haram jika dalam suatu proses jual beli dicampuri tindakan spekulatif dan begitu pula sebaliknya.
Nash Allah dalam al-quran surat al-maidah ayat 90.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S al-Maidah ayat 90)
Sebagai contoh dalam lalu lintas perdagangan saham, pertama kali yang dilakukan oleh investor adalah membeli saham dan kemudian menjualnya dengan jual kosong (short selling). Dalam aktivitas ini yang terjadi adalah kebalikannya. Cara ini memungkinkan investor mendapatkan keuntungan dari penurunan harga saham. Pertama, saham dijual kemudian dibeli kembali dengan cara investor meminjam suatu saham dari broker dan menjualnya. Selanjutnya, short-seller harus membeli saham yang sama untuk menggantikan saham yang telah dipinjam. Kegiatan ini disebut mengganti posisi kosong (covering short positiion). Kondisi ini akan bertahan terus menerus dalam jual beli saham secara masif dan spekulatif sebelum investor mendapatkan untung yang diharapkan terutama di pasar sekunder dan sebelum pasar ditutup.
Kedua, meski terdapat suatu ketentuan tentang usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas bisnis utama (Core Business) yang halal dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001 yang telah disebutkan di atas. Namun terdapat dua ketentuan yang cukup kontroversial, pertama rasio hutang ribawi emiten dibandingkan dengan total ekuitas (Debt Equity Rasio) emitem syariah tidak lebih dari 82%. Artinya jika terdapat hutang ribawi emiten yang tidak melebihi angka 82% dari todal ekuitas perusahaan diperbolehkan oleh Bapepam dan DSN-MUI untuk masuk list saham syariah.
Kemudian peraturan selanjutnya, kontribusi pendapatan bunga dan pendapatan non halal lainnya dibandingkan dengan total seluruh pendapatan tidak lebih dari 10%. Maka dari ketentuan rasio utang terhadap ekuitas (DER) dan pendapatan non halal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan apakah jual beli saham perusahaan yang mempunyai hutang ribawi pendapatan non halal tersebut bisa dikatakan syariah? Tentu jawabnya belum, karena jika merujuk kepada setiap barang yang diperjualbelikan harus halal secara dhohir maka kondisi tersebut berbanding terbalik. Seharusnya kondisi Syarat Rasio utang Ribawi dan pendapatan non halal adalah 0%, karena dalil-dalil yang menyatakan tentang haramnya riba dan larangan menerima pendapatan ribawi dan non halal sudah jelas.
Sebagaimana firman Allah SWT. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Ali Imron 130)
Dengan kondisi syarat rasio tersebut maka jual beli saham emiten yang demikian hukumnya sama halnya dengan jual beli barang bathil dan hukumnya haram. Namun langkah yang ditempuh oleh semua pihak termasuk Majelis Ulama’ Indonesia yang telah menerbitkan segala aturan mengenai prinsip-prinsip syariah dalam jual beli saham dan Bapepam sendiri yang telah mengakomodir ketentuan MUI tersebut merupakan sebuah langkah gemilang yang tetap harus didukung dan diberikan kritik yang membangun, setidaknya jual beli saham syariah yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.
Mengenai ketentuan MUI tentang rasio hutang ribawi dan pendapatan non halal tersebut pasti mempunyai latar belakang dan dalil yang sangat kuat. Menurut analisa penulis, jika kedua aspek tersebut disyaratkan harus murni syariah maka apakah akan ada saham syariah di Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Industri keuangan dan bisnis saat ini hanya PT. Bank Muamalat, Tbk. yang menjadikan hukum syariah sebagai anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Jika demikian langkah tersebut juga kurang tepat baik dalam sisi hukum syariah dan aspek bisnis. Sebagaimana yang telah terjadi saat masa pertama kali turun syariah Islam kepada Nabi Muhammad, Allah SWT menurunkan hukum syariah secara berangsur-angsur. Demikian pula dalam industri keuangan syariah saat ini, dakwah yang dilakukan oleh semua civitas keuangan syariah juga mempertimbangkan aspek tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam aturan MUI tentang rasio keuangan emiten syariah tersebut.
{[['']]}

INDONESIA SEGERA BANGKRUT

Sebagai Negara kaya sumber daya alam, Indonesia mempunyai perairan seluas 93.000 km2 dan panjang pantai sekitar 81.000 km2 dengan kekayaan alam bawah laut yang sungguh luar biasa, 18% dari total terumbu karang (Coral Reef) dunia ada di Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia (20% dari suplai seluruh dunia), sekaligus penghasil timah terbesar kedua dan minyak sawit (CPO) terbesar dunia. Indonesia juga mempunyai kandungan alam berupa minyak, batu bara, emas dan besi yang besar.
Melihat kondisi tersebut, seharusnya Indonesia menjadi Negara maju di dunia. Namun fakta berkata lain. Berdasarkan laporan terakhir Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia tidak mampu menempati posisi 12 Negara eksportir utama (Top Exporters) dunia, Indonesia hanya berada di urutan paling buncit Middle-Leading Exporters. Bahkan untuk urusan sumber daya alam, Indonesia harus kalah dengan singapura. Singapura mampu menempati posisi ke 14 dari 15 Negara Leading Exporters, tentu hal ini sangat mengejutkan. Bahkan Indonesia harus masuk kategori Negara Leading Importers dari produk-produk sumber daya alam, tepatnya di posisi 14.
Tentu ada yang salah dengan Indonesia. Terkait dengan eksploitasi minyak dan gas alam, dari total seluruh ekspolitasi di Indonesia, operator migas nasional hanya memperoleh jatah 25% pengolahan di Negara sendiri, selebihnya dikuasai asing. Dari total 225 blok migas hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional selebihnya oleh asing, sebut saja kepemilikan ExxonMobil di ladang minyak blok Cepu. Di sektor emas, perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoran Copper & Gold Corp mengusai 81,28% produksi emas Papua. Di sektor Batubara, Banpu Public Company Ltd, perusahaan asal Thailand menguasai 73,22% saham yang tersebar di 5 dari 8 daerah tambang di Kalimantan, bahkan Straits Resources Ltd asal Australia menguasai 100% di Kalimantan Selatan. Di Sektor Tembaga, Newmont Mining Corp asal AS menguasai 80% saham. Kemudian di sector Nikel, Vale Canada Limited memiliki saham 58,73% dan Sumitomo Metal Mining Cold Ltd dengan proporsi 20,09%.
Meski pemerintah tengah menyiapkan renegosiasi kontrak yang tidak rasional tersebut dengan pihak asing. Namun hal itu tidak bisa dikatakan cukup, karena pemerintah hanya merencanakan pembagian fivety-fivety dengan mereka.
Di sisi lain, meski Indonesia menjadi Negara penghasil CPO terbesar dunia. Namun Indonesia harus mengimpor olahan matang CPO dari Negara-negara lain. Di sektor pangan, Indonesia harus mengimpor beras dan gula dari Negara-negara tetangga. Padahal lahan pertanian di Indonesia sangat luas dan subur untuk bercocok tanam.
Tentu kondisi ini tidak bisa diremehkan oleh pemerintah. Meski ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6-7% per tahun dan diprediksi menjadi penentu arah perekonomian dunia bersama China, Brasil, India, Korea Selatan, dan Rusia pada tahun 2025 mendatang, tidak menutup kemungkinan bangsa ini akan bangkrut jika pemerintah terus diam.
{[['']]}

EKONOMI ISLAM SUBSTANTIF

Ada sesuatu yang menarik tatkala kita menyimak diskusi dan gumulan pemikiran para ekonom negeri ini. Iman Sugema yang representasi oposan pemerintah dalam hal kebijakan ekonomi yang diambil, tidak jarang menyuarakan pendapat yang sesungguhnya ‘bertemu muka’ dengan prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam. Misalnya, kerap saat otoritas moneter membuat kebijakan menaikkan suku bunga SBI, ia malah mengkritik dan cenderung lebih setuju pemikiran bunga nol persen. Demikian pula tokoh Faisal Basri. Saat berkomentar dan melakukan analisis ekonomi, ia tidak jarang melontarkan pendapat yang sejatinya adalah ruh ekonomi Islam. Umpamanya saat ia mencela pasar uang yang terlalu spekulatif sehingga kemudian menyebabkan kekacauan ekonomi, bahkan krisis. Padahal bunga nol persen dan larangan spekulasi mata uang adalah termasuk ajaran ekonomi Islam yang pertama.

Maka, hipotesis awalnya ialah: peta ‘isme’ ekonomi saat ini sedang berkontraksi antara tesis lama dengan antitesisnya, kemudian menyintesis dan bergerak menuju sebuah tesis baru -meminjam logika dialektika Hegelian. Pertanyaan bijaknya adalah, apakah tesis baru itu? Kemungkinan keduanya adalah bisa jadi terdapat irisan –baik sedikit atau banyak- antara paham/ideologi ekonomi yang satu dengan yang lain. Sebutlah misalnya kapitalisme dengan ekonomi Islam bersepaham dan beririsan sebesar 10 persen dalam hal kebebasan pasar dan tidak bolehnya intervensi yang menyebabkan market failure. Atau ekonomi Islam yang beriris dengan sosialisme dalam segi wajibnya pemerintah mengayom seluruh penduduk, terutama rakyat yang berkekurangan (proletariat) dan perlunya dana sosial untuk memback up kemiskinan. Dari sisi ini, nampaknya perlu penelaahan lebih mendalam.

Yang hendak kita diskusikan di sini adalah tentang dimanakah letak isme-isme ekonomi berada? Apakah ada kemungkinan terjadi irisan satu sama lainnya, dan jika ya, seberapa besarkah irisannya itu? Betulkah 10 persen, atau mungkin jauh lebih besar hingga setengahnya? Hal ini urgen untuk diketahui. Karena penulis berpendapat tidak semua hal dalam ekonomi konvensional (baca: kapitalisme dan sosialisme sebagai dua titik ekstrem) itu salah dan perlu dikoreksi. Ada sisi-sisi baik dari keduanya. Katakanlah kapitalisme berbudi atau sosialisme baik hati. Atau sebut saja kapitalisme plus moral dan sosialisme yang beretika. Tapi, mungkinkah itu? Formalisasi Ekonomi Islam Tulisan ini tidak sedang berbicara bahwa tak apalah anda berekonomi dengan name tag dan istilah apapun, asalkan substansinya adalah Islam. Bukan pula menegasi formalisasi ekonomi Islam seperti apa yang dilakukan oleh kalangan substansialis. Tidak nian. Di sini justru hendak menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, prinsip dan teori-teori ekonomi semakin berunifikasi, menuju ke arah yang sama. Sehingga kini, semakin menjadi teranglah, mana teori yang salah dan terbukti gagal serta mana ‘ekonomi sejati’ itu.

Memang, masalahnya saat ini adalah -merujuk pendapat Adiwarman Karim-‘mobil ekonomi Islam’ yang sudah lurus dan benar arah jalannya itu, tidak kunjung berjalan. Beda hal dengan kapitalisme yang mobilnya jalan terus, meskipun salah jalan dan tak tahu arah tujuan. Meskipun ‘mentok-mentok’ dan ‘nabrak sana-sini’ bahkan sudah ‘penyok’, ia tetaplah berjalan dan berupaya mencari arah yang dituju sehingga ada semacam trial error. Ada langkah coba-coba sebelum mencapai tujuan ‘kesejahteraan’. Maka alangkah baiknya andai saja mobil yang sudah berada ‘on the track’ itu, berupaya sekuat tenaga untuk tancap gas, melewati mobil yang lain dan tiba di tujuan kesejahteraan dengan selamat.

Kapitalisme dapat dikatakan sebagai “ekonomi coba-coba”. Ketika kebebasan menjadi ruh kapitalisme, maka ruang eskperimen terbuka luas. Logika-logika rasional kemudian bersintesis dengan landasan filosofis salah seperti asumsi bahwa pemenuhan keinginan manusia tak harus dibatasi (greedy). Hasilnya, “percobaan” tersebut menghasilkan beberapa sisi positif yang pada hakikatnya sejalan dengan “sunatullah ekonomi” semisal efisiensi dalam pasar yang bebas. Plus sisi-sisi negatif yang berasal dari ketamakan manusia itu sendiri. Sehingga, eksistensi kapitalisme murni bersumber pada intelektualisme pengusungnya dan menjadi rapuh ketika ia beroperasi tanpa batas.

Tesis Muhammad Abduh Ala kulli hal, secara substansi, ekonomi Islam terbukti paling compatible dengan alam. Premis ini semakin presisif jika kita melihat kebisuan ekonomi Kapitalisme menjawab tantangan krisis global saat
ini. Maka muncul kesimpulan sementara: ekonomi apapun namanya, saat ia eksis dan berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat dunia dan sustainabilitas alam semesta, hampir dipastikan sesungguhnya dia sedang beririsan dengan ekonomi Islam. Jangan sampai malah kita tersindir oleh ujaran Muhammad Abduh: “Aku melihat Islam di Barat tapi tidak melihat muslimun disana. Sebaliknya, Aku melihat banyak muslimin di Timur, tapi sedikit sekali melihat Islam disana”. Sehingga, menemukan dan mendeskripsikan “irisan-irisan” antara “isme-isme” yang ada dengan ekonomi Islam menjadi sebuah kerja intelektual selanjutnya. Dan Allahlah Yang Maha Tahu atas segala.

Penulis : Aam Slamet Rusydiana
EKONOMI ISLAM SUBSTANTIF - zonaekis.com
{[['']]}

Emas Tidak Mengenal Inflasi

Selasa, 19 April 2011 emas sentuh level tertinggi dalam sejarah, nilainya mencapai 1.498,60 dollar AS per troy once, sebuah bukti bahwa emas adalah logam yang begitu berharga di mata masyarkat dunia, tren nilainya semakin menguat selama satu dasawarsa terakhir, yakni sebesar 406%.
Emas sebagai logam mulia dikenal sebagai alat investasi sejak lama oleh manusia, yakni dalam bentuk batangan emas, perhiasan dan mata uang (dinar). Emas disebut sebagai pelindung asset yang sempurna dan alat investasi yang menguntungkan. Dibanding dengan uang kertas dan komoditas lain, nilai emas tidak mudah turun. Selain itu, emas dianggap mempunyai nilai daya beli yang konsisten. Sebagai gambaran, ketika harga emas turun, maka harga komoditas lain akan turun, namun sebaliknya ketika harga emas naik, belum tentu harga komoditas mengalami kenaikan.
Selain itu, jika berinvestasi dengan emas, aspek positifnya ialah emas tidak tersentuh sistem perbankan yang menelan biaya administrasi, pajak, biaya tambah lainya dan bahkan inflasi seperti halnya jika menabung uang kertas di bank. Sebagai contoh jika seseorang menabung uang di bank dengan bunga 6,5% dan laju inflasi mencapai 6,3%, maka orang tersebut hanya menikmati keuntungan senilai 0,2%, kondisi belum dikurangi oleh besaran biaya-biaya lainnya yang tentunya akan semakin membuat masyarakat menabung mengalami kerugian.
Hal ini tentu berbeda jika kita menabung dengan menggunakan emas. Karena emas memiliki nilai material asli sedangkan mata uang kertas tidak. Sering kita tidak sadar bahwa nilai uang kertas tidak seperti yang tertera di lembarannya. Yang jelas nilai uang kertas terhadap komoditas menurun tiap waktunya.
Dengan kata lain, emas dianggap tidak kenal inflasi. Oleh sebab itu, Banyak orang menyebut bahwa emas merupakan instrument investasi yang paling aman dan menguntungkan dibanding instrumen lain.
Penulis : Muhammad Mamduh
{[['']]}

Ekonomi Islam dan Prinsip-prinsipnya

Ekonomi Islam ialah pengetahuan dalam penerapan, perintah-perintah yang ditetapkan oleh syariah yang mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kewajiban mereka kepada Allah SWT.(Drs. Wahab Zaenuri, M.Ag.).
Sedangkan menurut M. Umer Chapra “Islamic economic was defined as that branch of knowledge which helps realize human well-being through an allocation and distribution of scarce resources that is in confirmity with Islamic teaching without unduly curbing individual freedom or creating continued macro economic and ecological imbalances.” Ekonomi islam ialah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidaksinambungan lingkungan.
Islam merupakan agama yang begitu sempurna, Islam begitu konsen pada sebuah tatanan yang mengedepankan konsep spiritual dan material ditempatkan secara seimbang. Al qur’an dan as sunnah sebagai sumber hukum yang penting dalam agama islam. Keduanya memuat segala apa yang dibutuhkan oleh manusia, termasuk urusan interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhannya (ekonomi/ mu’amalah). Di dalam kedua sumber pokok ajaran agama islam, memang tidak dijelaskan secara rinci dan detail mengenai urusan ekonomi/ mu’amalah, namun bukan berarti islam tidak mempunyai dasar hukum sekaligus petunjuk tentang ekonomi bagi pemeluknya. Justru hal ini yang menjadi keunikan dalam kesempurnaan agama islam itu sendiri. Mengenai ekonomi (mu’amalah) Allah hanya menempatkan pedoman-pedoman dasar sebagai sebuah guide line untuk umat manusia, uniknya guide line tersebut mampu senantiasa berkembang sesuai tuntutan zaman. Allah menempatkan pedoman-pedoman dasar dalam kalam-Nya dan sunnah nabi karena tingkat kebutuhan manusia tiap zamannya akan selalu berbeda. Pedoman dan prinsip dasar ekonomi islam tersebut meliputi:

Prinsip-prinsip atau nilai universal ekonomi islam

a. Tauhid
Tauhid merupakan fondasi dan esensi dasar dari ajaran agama islam. Di mana dengan tauhid manusia mengenal Allah, tujuan hakiki kehidupan manusia di dunia. Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, yang meletakkan nilai material dan spiritual secara seimbang.

b. Adil dan Ihsan
Adil dan baik merupakan konsep mu’amalah yang diajarkan islam kepada ummatnya. Keadilan dan kebaikan yang terwujud dalam keseimbangan dan persamaan dalam kehidupan akan memberikan kesejahteraan yang menyeluruh dalam masyarakat.

c. Khilafah dan Tanggungjawab
Diturunkannya Nabi Adam dan keturunannya di muka bumi agar mereka menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi dengan segala kewajibannya untuk memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan di bumi. Segala urusan yang telah diberikan Allah kepada manusia akan selalu ada pertanggungjawabannya tanpa terkecuali.

d. Bebas dalam bertindak (Freedom to act)
Manusia diciptakan oleh Allah dengan bekal hidup yang sempurna. Manusia diciptakan mempunyai akal pikiran dan hati nurani guna beraktifitas sesuai jalan yang digariskan oleh Allah. Manusia diperbolehkan menggali sumber daya untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan bebas. Tidak ada kekangan dan paksaan dalam konsep ini. Namun kebebasan ini tidak bisa diartikan secara tekstual, artinya ada aturan pokok (guide line) sebagaimana yang terdapat dalam fiqih mu’malah yang harus dipatuhi demi terjadinya keseimbangan dalam kehidupan.
{[['']]}

Sejarah Uang

Pada awal peradaban manusia, jenis kebutuhan manusia masih sangat sederhana. Manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri dengan cara berburu dan atau mengambil buah-buahan untuk mereka makan. Pada masa awal ini manusia belum mengenal tukar menukar barang atau jual beli barang kebutuhan (komoditas) satu sama lain.
Ketika populasi manusia bertambah dan peradaban mereka semakin berkembang, kegiatan dan interaksi mereka semakin intensif. Di masa ini kebutuhan mereka semakin meningkat. Satu sama lain saling membutuhkan, karena tidak ada individu secara sempurna guna memproduksi sendiri barang kebutuhan meraka. Oleh karena itu manusia saling tukar menukar komoditas untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk mengadakan pertukaran ini dibutuhkan adanya keinginan pada waktu yang beramaan (double coincidence of wants) dari pihak yang melakukan pertukaran ini. Namun semakin beragam dan kompleks kebutuhan meanusia, semakin sulit untuk menciptakan kondisi tersebut. Keadaan yang demikian tentu mempersulit interaksi ekonomi (mu’amalah) manusia. Itulah sebabnya kemudian diperlukan adanya alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihk. Alat tukar ini kemudian disebut uang. Uang pertama kali dikenal pada masa peradaban Sumeria dan Babylonia. Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti sejarah. Dari perkembangan ini, uang kemudian dikategorikan dalam tiga jenis, uang barang (komoditas), uang logam, uang kertas, uang giral dan uang kredit.

a) Uang Barang (commodity money)

Uang barang adalah alat tukar yang memiliki nilai barang atau bisa dipertukarkan dengan barang lainnya, keberadaan dan fungsinya disepakati dan diterima oleh masyarakat. Akan tetapi semua barang tidak dapat dianggap uang, diperlukan kondisi utama sebagai syarat.
- Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu harus terbatas
- Daya tahan (durability), barang tersebut harus tahan lama.
- Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan transaksi
Namun dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa uang barang memiliki kelemahan. Diantaranya, uang barang tidak memiliki pecahan, sulit untuk disimpan dan sulit untuk diangkut.

b) Uang logam/ bimetalisme (dinar dan dirham)

Di masa selanjutnya, untuk menutupi dan menghilangkan kelemahan uang barang pilihan uang oleh manusia jatuh pada logam-logam mulia, seperti emas dan perak yang dijadikan uang. Selain karena nilai intrinsiknya yang tinggi, uang logam juga bisa dipecah menjadi nagian-bagian yang kecil, mudah dibawa, lebih fleksibel dari pada uang barang sebelumnya, dan nilainya yang tidak mudah susut atau tergerus oleh pergeseran harga (inflasi).
Dalam pergeseran masa, uang logam tidak hanya dimonopoli oleh emas dan perak saja. Manusia juga memberlakukan logam-logam selain emas dan perak seperti tambaga untuk dijadikan uang dan alat tukar yang sah. Meskipun uang logam yang terbuat dari tembaga masih digunakan samapi sekarang, emas dan perak sudah tidak digunakan lagi sebagai uang sejak 1930an pasca Perang Dunia I. Tercatat dalam sejarah mata uang ini terakhir kali digunakan oleh bangsa turki dibawah kekuasaan Khalifah Utsmaniyah.

c) Uang Kertas (token money)

Ketika uang logam masih digunakan, ada beberapa pihak yang melihat keuntungan dari kondisi saat itu. Pihak-pihak ini disebut bank, orang yang meminjamkan uang, pandai-pandai emas dan toko-toko perhiasan. Pada awalnya uang ini muncul sebagai bukti atau surat kepemilikan, peminjaman, penitipan seseorang atas uang logam di tempat dimana seseorang menyimpan uang logam atau emas dan perak tersebut. Oleh karena adanya pendukung (backing) dari kepemilikan kertas tersebut akhirnya masyarakat umum menerima kertas tersebut sebagai uang yang sah untuk alat tukar yang sah.
Keadaan ini berlanjut sampai uang kertas lebih dominan digunakan oleh sistem perekonomian. Bahkan sejak 1976 , uang kertas yang dikeluarkan oleh pihak bank sentral di setiap negara di seluruh dunia tidak didukung (dibacking) oleh cadangan emas. Sistem ini kemudian disebut dengan fiat money.
Diantara keuntungan penggunaan dari uang kertas ialah biaya produksi/ pembuatan uang yang lebih rendah, penyimpanan, pembawaan dan pengiriman uang yang lebih mudah serta efisien, pengurangan dan penambahan nilai yang lebih mudah, serta dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan jumlah berapa pun.
Namun, penggunaan uang kertas sebagai uang dalam sistem fiat money mempunyai kekurangan ysng signifikan pula, dari sisi nilainya, nilai intrinsik uang kertas jauh lebih kecil dibawah nilai nominal uang tersebut, disamping itu uang kertas lebih mudah tergerus nilainya nilai komoditas-komoditas kebutuhan masyarakat di pasar. Oleh kartena itu, pihak bank sentral masing-masing negara yang mengeluarkan uang tersebut begitu ketat dalam pembuatan, pengawasan bahkan intervensi terhadap peredaran dan nilai uang kertas.

d) Uang giral (bank note/ deposit money)

Uang giral merupakan uang yang dikelurkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang ini muncul karena perkembangan dunia perbankan yang begitu pesat dan sangat siginifikan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediatory institution) dalam perekonomian. Adapun kelebiahan uang giral ialah:
- Seandainya uang ini hilang, keberadaanya akan sangat mudah untuk dilacak sehingga tidak mudah untuk digunakan oleh orang yang tidak berhak.
- Dapat dipindahtangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah
- Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat dapat ditulis sesuai dengan nilai transaksinya.
Namun, dibalik kemudahan penggunaan uang giral, terselip bahaya besar yang terdapat pada kemudahan pihak perbankan komersil yang mengeluarkannya ditambah dengan instrumen bunga berpeluang terjadinya peredaran uang yang lebih besar dari pada nilai transaksinya. Dalam prakteknya, meskipun Bank Sentral sebagai otoritas tertinggi perbankan, namun bank sentral tidak secara pasti bisa mengakurasi peredaran uang jenis ini karena pengawasan dan penerbitannya berada langsung di pihak bank komersil. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy).
{[['']]}

Pendapatan Nasional Dalam Teori Konvensional dan Ekonomi Syariat

Pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu (biasanya satu tahun) atau dapat diartikan pula bahwa pendapatan nasional adalah jumlah penghasilan yang diterima pemilik faktor-faktor produksi sebagai balas jasa atas sumbangannya dalam proses produksi dalam kurun waktu satu tahun (periode tertentu).
Perhitungan pendapatan nasional dapat memberikan perkiraan seluruh produk yang dihasilkan di dalam negeri (GDP) secara teratur yang merupakan ukuran dasar dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa serta memberikan pemahaman terhadap kerangka kerja hubungan antara variabel makroekonomi yaitu output, pendapatan, dan pengeluaran.
Terdapat tida element penting dalam konsep ini antara lain produk domestik bruto (gross domestic product/ GDP), produk nasional bruto (gross nasional product/ GNP) dan product nasional netto (net national product/ NNP).
GDP merupakan jumlah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara ditambah barang dan jasa perusahaan asing yang berprestasi di negara tersebut, tidak termasuk hasil barang dan jasa warga negara tersebut yang berkerja di luar negeri. Sedangkan GNP adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara ditambah hasil barang dan jasa atau pendapatan warga negara tersebut yang berkerja di luar negeri selama satu tahun. GNP Tidak termasuk barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan asing yang beroperasi negara tersebut. Dengan konsep GNP tersebut ada perhitungan yang akan menimbulkan ”pembayaran dari luar negeri”. Timbulnya pembayaran dari dalam dan luar negeri akan menimbulkan pendapatan netto luar negeri (PNLN) yang merupakan selisih antara pembayaran dari dalam negeri dengan pembayaran ke dalam negeri. Jika diperbandingkan antara GDP dan GNP maka terdapat kondisi yang mungkin terjadi pada suatu negara:
GDP > GNP, berarti penghasilan penduduk suatu negara yang berkerja di luar negeri akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu dan menunjukkan perekonomian negara belum maju, karena pembayaran ke luar negeri lebih besar bila dibanding dengan pendapatan dari luar negeri yang berarti pula bahwa investasi negara asing lebih besar dibanding investasi negara tersebut di luar negeri.
GDP < GNP, berarti penghasilan penduduk suatu negara yang berkerja di luar negeri akan lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara tersebut dan menunjukkan bahwa perekonomian negara relatif maju, karena pembayaran ke luar negeri lebih kecil dibanding pendapatan dari luar negeri serta menunjukan investasi negera tersebut di luar negeri lebih besar. GDP = GNP, berarti penghasilan akan sama besar antara penduduk yang berkerja di dalam dan di luar negeri. Adapun produk nasional netto (NNP) adalah nilai pasar barang dan jasa yang dihasilkan selama satu tahun dikurangi penyusutan atau depresiasi dan penggantian modal (replacement). NNP dapat dirumuskan dengan persamaaan sebagai berikut : NNP = GNP – (penyusutan + replacement) Perhitungan Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional yang merupakan ukuran terhadap aliran uang dan barang dalam perekonomian dapat dihitung dengan tiga pendekatan: (1) Pendekatan produksi (production approach), (2) Pendekatan pendapatan (income approach), (3) Pendekatan pengeluaran (expenditure approach).
a. Pendapatan nasional dengan pendekatan produksi (production approach).
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added), dari semua sektor produksi. Penggunaan konsep ini dilakukan guna menghindari terjadinya perhitungan ganda (double accounting). Adapun nilai tambah adalah selisih harga jual produk dengan biaya produksi.
Perhitungan pendapatan dengan pendekatan produksi di Indonesia dilakukan dengan menjumlahkan semua sektor industri yang ada, sektor industri tersebut diklasifikasikan menjadi 11 sektor atas dasar Internasional Standard Industrial Clasification. Kemudian, dalam perkembangannnya perhitungan dengan pendekatan metode ini di Indonesia dilakukan dengan menggunakan 9 sektor yang meliputi sektor produksi (1) pertanian, perternakan dan kehutanan (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan (4) listrik, gas, dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, perseawan dan jasa perusahaan lain, Dan (9) jasa-jasa.
Metode produksi dapat dilihat dengan persamaan sebagai berikut :

Y = ∑ NTb1-9 atau Y = NTb1 + NTb2 + NTb3 ............................+NTb9

Keterangan Y = Pendapatan nasional
NTb = Nilai Tambah

b. Pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran (income approach).
Metode ini dilakukan dengan cara menjumlahkan semua pengeluaran oleh masyarakat maupun pemerintah, atau dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi. Pendekatan ini sering disampaikan dengan persamaan sebagai berikut :

Y = C + I + G + (X-M)

Keterangan
Y : pendapatan nasional
C (consumption) : pengeluaran masyarakat berupa konsumsi
I (investment) : investasi
G (government) : pengeluaran pemerintah
X-M (export-import) : ekspor netto diambil dari selisih ekspor dan impor (X= ekspor dan M= impor)

c. Pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan (expenditure approach)
Pengertian pendapatan nasional dengan metode pendapatan adalah jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat sebagai balas jasa atas penyerahan faktor-faktor produksi yang dimiliki selama tahun yang dinilai dengan satuan nilai uang.
Dengan demikian penghitungan ini merupakan penjumlahan dari sewa tanah, gaji upah, bunga modal atau bagi hasil investasi dan laba pengusaha. Secara matematis dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

Y = W + I + R + P
Keterengan :
Y = pendapatan nasional
W (wages) = upah
I (interest/ invesment) = bunga (konvensional) atau bagi hasil (syariah)
R (Rent) = sewa
P (profit) = laba pengusaha
Penghitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan dalam perspektif konvensional dengan perspektif syariah terjadi perbedaan yang begitu signifikan. Dalam perspektif konvensional, penghitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan menggunakan bunga (interest/ I) dalam penghitungan matematisnya, sedangkan pendapatan nasional dengan metode pendapatan dalam perspektif islam menggunakan bagi hasil yang diperoleh dari investasi (invesment/ I), karena bunga adalah riba dan dihukumi haram oleh syariat islam.

Pendapatan Nasional Dalam Perspektif Islam

Pendekatan ekonomi konvensional menyatakan GDP atau GNP riil dapat dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi (measure of economic welfare) pada suatu negara. Saat GNP naik, maka diasumsikan bahwa rakyat secara materi bertambah baik posisinya atau sebaliknya, tentunya setelah dibagi dengan jumlah penduduk (GNP per kapita). Akan tetapi, bagi sejumlah ekonom (ekonom muslim) konsep tersebut ditolak. Mereka mengatakan bahwa GNP per kapita merupakan ukuran kesejahteraan yang tidak sempurna. Jika nilai output turun sebagai akibat orang-orang mengurangi jam kerja atau menambah waktu istirahatnya, maka hal itu bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk. Seharusnya ukuran kesejahteraan ekonomi dalam konsep GDP atau GNP riil harus mampu menggambarkan kesejahteraan pada suatu negara secara riil. Konsep GDP atau GNP riil dalam ekonomi konvensional tidak mampu menjawab hal tersebut.
Beberapa analisis penerapan konsep GDP riil/ per kapita secara Islami sebagai indikator kesejahteraan suatu negara dan selayaknya dilakukan oleh pemerintah sebagai berikut:
Umunya hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP tidak mencerminkan kondisi riil pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat. Produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri, tidak tercakup dalam GNP. Dalam konsep tersebut seharusnya mampu menggambarkan dan mengenali penyebaran alamiah dari output perkapita secara riil. GNP juga tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang tidak ditransaksikan di pasar. Itu artinya kegiatan produktif keluarga yang langsung dikonsumsi dan tidak memasuki pasar tidak tercatat di dalam GNP. Di samping itu, seharusnya konsep pendapatan nasional harus lebih memberi tekanan/ bobot terhadap produksi bahan kebutuhan pokok. Selama ini konsep pendapatan nasional memberi nilai yang sama antara bahan kebutuhan pokok dengan komoditas tersier lain jika nilai nominalnya sama.

a. Pendapatan nasional harus mampu mengukur produksi di sektor pedesaan dan sektor riil. Tingkat produksi komoditas dalam subsistem pedesaan dan sektor riil begitu penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan mengentaskan kemiskinan oleh pemerintah. Data tersebut dapat menjadi landasan kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan yang menyangkut ekonomi riil dan ekonomi masyarakat pedesaan.

b. Pendapatan nasional harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi islami. Pendapatan per kapita yang yang ada selama ini tidak menyediakan data yang cukup untuk mengukur kesejahteraan yang sesungguhnya. Oleh karena itu sungguh menarik tentang apa yang telah dinyatakan dalam konsep measures for economic welfare oleh akademisi barat yang menyatakan bahwa kesejahteraan rumah tangga yang merupakan ujung dari seleruh kegiatan ekonomi yang sebenarnya bergantung pada tingkat konsumsinya. Karena sesungguhnya konsep ini memberikan petunjuk-petunujuk berharga untuk memperkirakan level kebutuhan hidup minimum secara islami

c. Konsep tersebut menggunakan 6 kategori yang lebih kompleks dalam pendekatannya, antara lain; (1) belanja untuk keperluan publik (public expenditure), (2) belanja rumah tangga (durable goods consumption), (3) memperkirkan kesejahteraan sebagai akibat urbanisasi, polusi, dan kemacetan (loss of welfare due to pollution, urbanization and congestion) (4) memperkirakan nilai jenis barang-barang tahan lama yang dikonsumsi selama satu tahun (value of durable actually consumed during the year), (5) memperkirakan nilai pekerjaan yang dilakukan sendiri, yang tidak melalui transaksi pasar (value of non-market services), dan (6) memperkirakan dari nilai rekreasi (value of leisure).
Selanjutnya, keenam kategori tersebut diimplementasikan dalam persamaan matematis sebagai berikut:
MEW = public expenditure – durable goods consumption – loss of welfare due to pollution, urbanization and congestion + value of durable actually consumed during the year + value of non-market services + value of leisure.

d. Pendapatan nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui pendugaan nilai santunan antar saudara dan sedekah. Di negara muslim, jumlah dan kisaran dari kegiatan dan transaksi yang didasarkan pada keinginan untuk melakukan amal kebajikan memiliki peranan penting. Tidak hanya karena luasnya kisaran dari kegiatan ekonomi tetapi juga memberikan dampak positif bahkan produktif dalam masyarakat melalui zakat, infak dan shadaqah.
Di samping aspek material tersebut, secara singkat, satu elemen fundamental yang membedakan sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah merupakan kesejahteraan yang hakiki, dimana komponen rohaniah/ spiritual dan material hadir secara seimbang dan saling melengkapi. Dan pada intinya, ekonomi islam mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial islam. Maka dari itu, selain memasukkan unsur falah, perhitungan pendapatan nasional berdasarkan islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
{[['']]}
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Indonesia Syariah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger