Latest Movie :
Home » » Analisis Jual Beli Saham Dalam Perspektif Hukum Syariah

Analisis Jual Beli Saham Dalam Perspektif Hukum Syariah

{[['']]}
Saham adalah sebuah instrumen investasi yang diperjualbelikan di pasar modal dalam perkembangan dunia ekonomi kontemporer. Dalam perkembangannya, saham sebagai salah satu instrumen investasi yang kompetitif dan memberikan kemudahan akses modal kepada para emiten yang ingin memperluas usahanya dan juga menawarkan keuntungan yang sangat signifikan kepada stakeholders yang berkecimpung di dalamnya.
Sebagai bentuk aktivitas muamalah manusia di muka bumi, jual beli saham tidak bisa lepas dari setiap ketentuan hukum islam (syariah) yang telah digariskan oleh Allah kepada manusia. Karena Agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang memuat nilai-nilai universal dan aturan yang komphrehensif.
Saham dalam istilah ekonomi diartikan sebagai tanda penyertaan modal atau kepemilikan seseorang (badan hukum) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Saham adalah sebuah intrumen keuangan yang dijualbelikan di bursa saham (pasar modal) dengan seperangkat regulasi yang ditetapkan pemerintah melalui Bapepam sebagai badan yang ditunjuk Menteri Keuangan. Adapun pasar modal adalah pasar untuk memperjualbelikan instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang, saham (ekuitas/ efek) instrumen derivatif, maupun instrumen lainnya. Adapun perusahaan yang melakukan penawaran saham disebut sebagai emiten.
Keinginan emiten dalam melakukan penawaran saham kepada publik akan sangat erat dilatarbelakangi oleh tujuan suatu perusahaan dalam menambah kapasitas dan ekspansi perusahaan. Oleh karena itu pula sebuah emiten akan berhitung tentang saham apa yang akan mereka tawarkan kepada publik. Di antaranya ialah saham biasa (common stock) dan saham turunan (prefered stock). Saham biasa (common stock) adalah saham yang menempatkan pemiliknya pada posisi paling junior dalam pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi. Sedangkan saham preferen adalah saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obilgasi) tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil yang dikehendaki investor.
Namun konsekuensi dari itu semua, sebuah perusahaan yang telah go public harus merelakan sebagian porsi manajemen kepada para pemegang saham, membagi hasil keuntungan berupa dividen di tiap akhir periode, melaporkan kegiatan dan laporan keuangan kepada publik, serta bersedia untuk dilakukan audit eksternal oleh auditor publik (independen). Sedangkan keuntungan perusahaan yang telah go public adalah mendapat suntikan modal di luar pembiayaan kewajiban untuk memperkuat struktur modal dan memperbesar kapasitas usahanya.
Dalam perkembangan dunia investasi keuangan, seperti halnya dalam dunia perbankan, saham juga mengalami perkembangan dan akulturasi implementasi nilai muamalah spiritual di dalamnya. Hal itu ditandai dengan hadirnya saham syariah di Indonesia dengan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli tahun 2000 sebagai maskotnya. Jakarta Islamic Index sendiri adalah index yang dikeluarkan oleh BEJ (sekarang BEI) sebagai subset dari Indexs Harga Saham Gabungan (IHSG).
Tujuan dibentuknya Jakarta Islamic Index adalah sebagai tolok ukur standar bagi saham berprinsip syariah di pasar modal dan sebagai sarana untuk meningkatkan investasi di pasar modal sesuai prinsip syariah. Kondisi tersebut sebelumnya sudah ditunjang oleh Reksadana Syariah yang telah berdiri terlebih dahulu pada tanggal 3 juli 1997, dan kemudian Pasar Modal berprinsip Syariah yang diterbitkan secara resmi pada tanggal 14 Maret 2003 oleh Menteri Keuangan pada saat itu Boediono.
Dengan adanya label syariah di belakang nama saham dan juga pasar modal syariah tentu terdapat sebuah perbedaan antara instrumen keuangan yang berbasis syariah dengan konvensional. Namun perbedaan prinsip yang diterapkan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional beserta instrumen keuangannya, bukan berarti bahwa pasar modal berprinsip syariah mempunyai lantai bursa dan lembaga struktural sendiri. Di Indonesia pasar modal berprinsip syariah berdiri sejajar bersama dengan pasar modal konvensional di bawah naungan Bapepam.
Namun dalam pelaksanaanya Bapepam sendiri tidak akan membuat apa itu syariahnya, Bapepam hanya akan membuat guide line saja, karena sudah ada Dewan Syariah Nasional yang mengurusi hal itu. Bersamaan diterbitkannya pasar modal syariah, Bapepam mengeluarkan 5 regulasi baru yang akan mengatur perjalanan pasar modal syariah dan membedakannya dengan pasar modal konvensional.
Namun dari kelima itu semua, hal yang Harus diperhatikan oleh Emiten dan Investor adalah semua Efek syariah, termasuk saham syariah yang diperjualbelikan dan Usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas utama (Core Business) yang halal dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah islam; (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang. (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusikan, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram, (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, atau menyediakan barang-barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat. Selebihnya, regulasi pasar modal syariah tidak banyak berbeda dengan regulasi yang diterapkan oleh Bapepam terhadap pasar modal konvensional.
Namun dari semua itu, dalam dunia fiqih kontemporer masih terdapat khilafiyah yang cukup serius di antara para ulama’ mengenai jual beli saham. Pertama, bahwa ulama’ sepakat bahwa jual beli saham di pasar modal adalah jelas haram, jika saham emiten yang diperjualbelikan adalam saham emiten yang bergerak di bidang usaha yang haram. Kedua, jika saham yang diperjualbelikan adalah saham emiten yang bergerak di bidang usaha yang halal para ulama’ berbeda pendapat mengenai hal itu. “Menurut Syahatah dan Fayyadh, “Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar‘i. Namun Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali as-Salus sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak islami. Jadi, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan islami (syirkah islâmiyah) atau tidak.”
Namun demikian, meski beberapa ulama’ menyatakan pendapatnya, tentu taqlid bukan suatu pilihan yang tepat, oleh karena itu wajib hukumnya berijtihad untuk mendekati hukum jual beli saham yang lebih tepat. Aspek mendasar yang harus dicermati yakni secara umum semua aktivitas jual beli pada dasarnya hukumnya halal sesuai dalil-dalil yang menunjukkan halalnya jual beli, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 275. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa jual beli telah dihalalkan oleh Allah SWT. Meski begitu, apakah aktivitas jual beli saham dengan segala mekanisme yang diterapkan oleh Bapepam sudah sesuai dengan kaidah dan aturan syariat. Merujuk kembali kepada konsep dasar muamalah bahwa setiap aktivitas muamalah manusia adalah mubah (boleh) sebelum didapat dalil yang berkata berbeda (al-ashlu fil muamalah al ibahah illa ma dalla ad-dalilu ‘ala khilafihi), maka jual beli saham perlu dihadapkan kepada dalil-dalil lain yang menerangkan secara umum muamalah manusia yang mungkin akan berkaitan tentang jual beli baik dari segi rukun dan syarat jual beli.
Aspek pertama ialah substansi saham sebagai barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih), yakni saham adalah tanda penyertaan modal atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Dalam definisi tersebut dapat dipahami bahwa saham merupakan tanda/ surat (berupa secarik kertas) penyertaan kepemilikan atau modal seseorang atas suatu badan usaha. Namun dalam pengertian lain saham didefinisikan sebagai satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Dari pengertian kedua dapat dipahami bahwa saham adalah sebuah instrumen keuangan dari sebuah perusahaan yang menjadi satuan nilai kepemilikan seseorang atas suatu perusahaan. Oleh karena itu jika ditarik suatu benang merah di antara kedua definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa saham adalah bukti kepemilikan berupa penyertaan modal sesorang atas suatu perusahaan (badan usaha).
Dengan demikian, layaklah aktivitas jual beli saham dapat diqiyaskan sebagai akad pemindahan (mu’awwadlah) kepemilikan atas modal suatu perusahaan sebagaimana yang terjadi di pasar perdana bursa efek. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa tujuan utama dari suatu perusahaan yang ingin menjual beberapa sahamnya di lantai bursa ialah untuk memperoleh dana besar untuk memperkuat struktur modal, ekspansi atau perluasan usaha, meningkatkan investasi di anak perusahaan, melunasi sebagian utang dan menambah modal kerja. Maka dari penjelasan tersebut, jual beli saham dapat diartikan sebagai akad muawwadlah atas modal antara perusahaan (emiten) dan investor. Jika demikian, bagaimana hukumnya jika jual beli saham dipersamakan sebagai jual beli modal? maka hukumnya ialah boleh, karena modal bersifat stock consep tidak seperti uang yang bersifat flow consep dan tidak bisa dijadikan sebagai komoditas perdagangan.
Namun jika saham diartikan sebagai sebuah bentuk instrumen syirkah dalam suatu bisnis, apakah hukumnya halal juga? Meski syirkah adalah suatu muamalah yang dihalalkan dalam islam, apakah syirkah bisa dipindahtangankan melalui jual beli surat kepemilikan. Dalam buku Investasi pada pasar modal syariah diungkapkan bahwa secara praktis instrumen saham belum diperjualbelikan pada masa Rasulullah karena yang dikenal hanyalah jual beli komoditas secara riil. Pada masa itu belum dipresentasikan saham sebagai instrumen pengakuan perusahaan dalam bentuk syirkah. Dengan demikian bukti kepemilikan atau jual beli aset hanya melalui jual beli biasa dengan mekanisme pasar riil. Oleh karena tidak ada nash yang menyebut secara jelas hukum saham dan akad pemindahan kepemilikannya, maka beberapa ulama’ mengutarakan pendapatnya meski terjadi khilafiyah di antara mereka. Di antara pendapat yang paling kuat di antara mereka ialah pendapat yang memperbolehkan jual beli saham sesuai dengan terminologi yang melekat padanya, yakni sebuah saham yang dimiliki adalah menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham menjadi cerminan kepemilikan atas aset tertentu.
Aspek kedua tentang regulasi Bapepam mengenai mekanisme jual beli saham di pasar modal apakah sudah bisa mengakomodir ketentuan syariah tentang rukun dan syarat jual beli. Kondisi yang paling disoroti oleh para cendekiawan muslim ialah transaksi jual beli yang tidak dilakukan secara kontan (spot) dan bisa dipindahtangankan sebelum terjadi serah terima saham dalam pasar sekunder bursa efek.
Hal ini menimbulkan interpretasi hukum oleh beberapa ulama’, perlu diketahui bahwa dalam pasar modal, transaksi berjangka diberlakukan sesuai tingkat keperluan dan transaksi jual beli. Artinya transaksi yang dilakukan di dalam pasar modal syariah tidak dilakukan secara kontan dan riil sebagaimana transaksu jual beli biasa yang ditemui sehari. Namun dari pada itu, transaksi dalam bursa bukanlah jual beli as-Salm yang dibolehkan dalam syari'at Islam, karena keduanya berbeda dalam dua hal:
1) Dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi. Namun ditangguhkan pembayarannya sampai penutupan pasar bursa. Sementara dalam jual beli as-Salm harga barang harus dibayar terlebih dahulu dalam transaksi dan diserahterimakan sesuai kaidah jual beli.
2) Dalam pasar bursa barang transaksi dijual beberapa kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan, secara spekulatif melihat untung ruginya. Persis seperti perjudian. Padahal dalam jual beli as-Salm tidak boleh menjual barang sebelum diterima.
Maka dalam kondisi seperti itu, tentu saja syarat luzum dalam jual beli tidak terpenuhi. Selain itu, meski terdapat aqidain yang jelas dalam jual beli saham baik syariah maupun konvensional dalam pasar modal, namun masih terdapat sebuah kondisi yang tidak bisa menjelaskan terjadinya ijab dan qabul antara pihak penjual dan pembeli saham. Hal ini yang kemudian disoroti oleh Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin dan Ali as-Salus seperti dalam beberapa paragraf di atas. Karena ijab dan Qabul adalah rukun dalam jual beli yang tidak bisa ditinggalkan. Setidaknmya itulah pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama’ yang condong ke pedapat imam syafi’i yang mewajibkan terjadinya ijab dan qabul dalam bentuk sighat dan majlis yang jelas.
Namun bagi para ulama’ dari golongan namun menurut Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dalam pendapat yang rajih (kuat) bahwa jual beli adalah sah apabila sudah menjadi adat kebiasaan (‘urf) yang menunjukkan kepada kerelaan dan perbuatan yang menggambarkan kesempurnaan kehendak dan keinginan masing-masing pihak seperti dalam kitab jual beli al-mu’athah, dan itu telah tergambar dalam jual beli saham yang telah dimaklumi oleh para stakholder.
Aspek ketiga, meski Dewan Syariah Nasional MUI yang mengeluarkan fatwa tentang Saham syariah masih ada beberapa hal yang patut dipertanyakan karena menurut penulis mampu menghilangkan konsep syariah dalam jual beli saham syariah itu sendiri, antara lain: Pertama, meski fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003 yang mengatur tentang larangan tindakan spekulatif dan jual beli saham sesuai prinsip syariah dalam pasar modal, namun kenyataan di lapangan ketentuan tersebut tidak bisa mengikat para stakeholder secara mutlak. Tentu saja, tindakan spekulatif para investor tidak akan bedanya dengan jual beli uang dan juga judi. Jika demikian tentu saja hukumnya haram jika dalam suatu proses jual beli dicampuri tindakan spekulatif dan begitu pula sebaliknya.
Nash Allah dalam al-quran surat al-maidah ayat 90.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S al-Maidah ayat 90)
Sebagai contoh dalam lalu lintas perdagangan saham, pertama kali yang dilakukan oleh investor adalah membeli saham dan kemudian menjualnya dengan jual kosong (short selling). Dalam aktivitas ini yang terjadi adalah kebalikannya. Cara ini memungkinkan investor mendapatkan keuntungan dari penurunan harga saham. Pertama, saham dijual kemudian dibeli kembali dengan cara investor meminjam suatu saham dari broker dan menjualnya. Selanjutnya, short-seller harus membeli saham yang sama untuk menggantikan saham yang telah dipinjam. Kegiatan ini disebut mengganti posisi kosong (covering short positiion). Kondisi ini akan bertahan terus menerus dalam jual beli saham secara masif dan spekulatif sebelum investor mendapatkan untung yang diharapkan terutama di pasar sekunder dan sebelum pasar ditutup.
Kedua, meski terdapat suatu ketentuan tentang usaha yang dijalankan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah Islam yakni, aktivitas bisnis utama (Core Business) yang halal dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001 yang telah disebutkan di atas. Namun terdapat dua ketentuan yang cukup kontroversial, pertama rasio hutang ribawi emiten dibandingkan dengan total ekuitas (Debt Equity Rasio) emitem syariah tidak lebih dari 82%. Artinya jika terdapat hutang ribawi emiten yang tidak melebihi angka 82% dari todal ekuitas perusahaan diperbolehkan oleh Bapepam dan DSN-MUI untuk masuk list saham syariah.
Kemudian peraturan selanjutnya, kontribusi pendapatan bunga dan pendapatan non halal lainnya dibandingkan dengan total seluruh pendapatan tidak lebih dari 10%. Maka dari ketentuan rasio utang terhadap ekuitas (DER) dan pendapatan non halal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan apakah jual beli saham perusahaan yang mempunyai hutang ribawi pendapatan non halal tersebut bisa dikatakan syariah? Tentu jawabnya belum, karena jika merujuk kepada setiap barang yang diperjualbelikan harus halal secara dhohir maka kondisi tersebut berbanding terbalik. Seharusnya kondisi Syarat Rasio utang Ribawi dan pendapatan non halal adalah 0%, karena dalil-dalil yang menyatakan tentang haramnya riba dan larangan menerima pendapatan ribawi dan non halal sudah jelas.
Sebagaimana firman Allah SWT. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Ali Imron 130)
Dengan kondisi syarat rasio tersebut maka jual beli saham emiten yang demikian hukumnya sama halnya dengan jual beli barang bathil dan hukumnya haram. Namun langkah yang ditempuh oleh semua pihak termasuk Majelis Ulama’ Indonesia yang telah menerbitkan segala aturan mengenai prinsip-prinsip syariah dalam jual beli saham dan Bapepam sendiri yang telah mengakomodir ketentuan MUI tersebut merupakan sebuah langkah gemilang yang tetap harus didukung dan diberikan kritik yang membangun, setidaknya jual beli saham syariah yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.
Mengenai ketentuan MUI tentang rasio hutang ribawi dan pendapatan non halal tersebut pasti mempunyai latar belakang dan dalil yang sangat kuat. Menurut analisa penulis, jika kedua aspek tersebut disyaratkan harus murni syariah maka apakah akan ada saham syariah di Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Industri keuangan dan bisnis saat ini hanya PT. Bank Muamalat, Tbk. yang menjadikan hukum syariah sebagai anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Jika demikian langkah tersebut juga kurang tepat baik dalam sisi hukum syariah dan aspek bisnis. Sebagaimana yang telah terjadi saat masa pertama kali turun syariah Islam kepada Nabi Muhammad, Allah SWT menurunkan hukum syariah secara berangsur-angsur. Demikian pula dalam industri keuangan syariah saat ini, dakwah yang dilakukan oleh semua civitas keuangan syariah juga mempertimbangkan aspek tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam aturan MUI tentang rasio keuangan emiten syariah tersebut.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Indonesia Syariah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger